Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

Penikmat Kopi

Dilema Tenaga Kontrak Bernama Pendamping Desa

Diperbarui: 19 Oktober 2024   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Serba seadanya dengan tuntutan harus tetap profesional. (sumber: dokpri)

Menjadi tenaga pendamping desa di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) bukanlah tugas yang ringan. Sebagai ujung tombak dalam mengimplementasikan program-program pembangunan desa, para pendamping desa berperan penting dalam memastikan anggaran desa digunakan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan. 

Namun, ironisnya, mereka yang bekerja keras untuk mengawal pembangunan seringkali dihadapkan pada situasi yang tidak pasti terkait status pekerjaannya. 

Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpastian ini adalah kontrak tahunan yang tidak menjamin kelangsungan kerja, diperparah dengan dinamika politik internal serta perubahan di tingkat pimpinan, seperti yang sedang ramai diperbincangkan terkait pergantian Menteri Desa tahun ini.

Banyak pendamping desa mengalami keresahan setiap kali kontrak mendekati masa akhir. Bukan hanya karena khawatir kontrak tidak diperpanjang, tetapi juga karena kekhawatiran terkait politik internal. Sebagai tenaga kontrak, pendamping desa berada dalam posisi rentan, di mana keputusan terkait perpanjangan kontrak bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor non-profesional, seperti afiliasi politik atau kedekatan dengan kelompok tertentu di lingkungan kerja. 

Fenomena “kekuasaan tersembunyi” sering menjadi obrolan di antara sesama pendamping. Mereka yang tidak sehaluan dengan kelompok dominan, atau yang dianggap “tidak mendukung bendera” yang sama, sering kali merasa terancam.

Di tahun ini, pergantian Menteri Desa menambah beban psikologis bagi para pendamping desa. Spekulasi tentang perubahan kepemimpinan di kementerian tersebut, beserta “gerbong” yang  akan dibawanya, membuat banyak pendamping cemas tentang nasibnya. 

Ada kekhawatiran bahwa kebijakan dan program yang sudah berjalan akan dihentikan atau diubah, termasuk status pendamping desa. Bagi yang pragmatis, beralih “gerbong” menjadi solusi demi menjaga kelangsungan pekerjaan, meskipun hal ini seringkali mengorbankan idealisme. Namun, bagi yang lebih memilih bertahan pada prinsip profesionalisme, dilema ini semakin berat.

Salah satu syarat penting bagi pendamping desa adalah memiliki sertifikasi profesi. Kepmendesa PDTT Nomor 197 Tahun 2024 yang baru dirilis mewajibkan pendamping desa untuk memiliki sertifikat yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 201 Tahun 2021. 

Kebijakan ini, pada satu sisi, merupakan langkah penting untuk meningkatkan profesionalitas pendamping desa, memastikan mereka memiliki kompetensi yang memadai untuk mendukung pembangunan desa. Namun, pada sisi lain, kebijakan ini membawa beban tersendiri bagi para pendamping.

Sertifikasi, meskipun diakui sebagai langkah yang diperlukan, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagi sebagian kecil Pendamping Lokal Desa (PLD), sertifikasi dibiayai oleh negara, tetapi bagi pendamping desa lainnya, terutama Pendamping Desa (PD) dan Tenaga Ahli (TA), mereka harus menanggung biaya sertifikasi sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline