Menjadi tenaga pendamping desa di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) bukanlah tugas yang ringan.
Sebagai ujung tombak dalam mengimplementasikan program-program pembangunan desa, para pendamping desa berperan penting dalam memastikan anggaran desa digunakan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan.
Namun, ironisnya, mereka yang bekerja keras untuk mengawal pembangunan seringkali dihadapkan pada situasi yang tidak pasti terkait status pekerjaannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpastian ini adalah kontrak tahunan yang tidak menjamin kelangsungan kerja, diperparah dengan dinamika politik internal serta perubahan di tingkat pimpinan, seperti yang sedang ramai diperbincangkan terkait pergantian Menteri Desa tahun ini.
Banyak pendamping desa mengalami keresahan setiap kali kontrak mendekati masa akhir. Bukan hanya karena khawatir kontrak tidak diperpanjang, tetapi juga karena kekhawatiran terkait politik internal.
Sebagai tenaga kontrak, pendamping desa berada dalam posisi rentan, di mana keputusan terkait perpanjangan kontrak bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor non-profesional, seperti afiliasi politik atau kedekatan dengan kelompok tertentu di lingkungan kerja.
Fenomena “kekuasaan tersembunyi” sering menjadi obrolan di antara sesama pendamping. Mereka yang tidak sehaluan dengan kelompok dominan, atau yang dianggap “tidak mendukung bendera” yang sama, sering kali merasa terancam.
Di tahun ini, pergantian Menteri Desa menambah beban psikologis bagi para pendamping desa. Spekulasi tentang perubahan kepemimpinan di kementerian tersebut, beserta “gerbong” yang akan dibawanya, membuat banyak pendamping cemas tentang nasibnya.
Ada kekhawatiran bahwa kebijakan dan program yang sudah berjalan akan dihentikan atau diubah, termasuk status pendamping desa.
Bagi yang pragmatis, beralih “gerbong” menjadi solusi demi menjaga kelangsungan pekerjaan, meskipun hal ini seringkali mengorbankan idealisme. Namun, bagi yang lebih memilih bertahan pada prinsip profesionalisme, dilema ini semakin berat.