Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

Penikmat Kopi

Cahaya di Lingkar Kabut (1)

Diperbarui: 14 Oktober 2024   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (sumber: https://www.bing.com/images/create/)

Cerita perjuangan seorang pendamping desa yang berjuang melewati berbagai rintangan dan ketidakpastian dalam upaya menegakkan keadilan di desa dampingannya.

Disclaimer: Cerita ini hanyalah rekaan fiktif. Segala kesamaan nama, tempat, atau kejadian adalah kebetulan semata dan tidak dimaksudkan untuk menyakiti atau menyinggung pihak mana pun.

----------

Di sebuah desa di pelosok suatu pulau yang tidak terlalu besar, seorang Pendamping Lokal Desa (PLD) bernama Hendra menjalani hari-harinya dengan dedikasi dan ketulusan. Setiap pagi, ia menyusuri jalanan berbatu, menghirup udara segar, menikmati hamparan sawah yang hijau, dan menyapa warga yang sudah seperti keluarganya sendiri. Dia dikenal sebagai sosok yang selalu ada ketika masyarakat membutuhkan, baik dalam urusan administratif, pemberdayaan, maupun ketika sekadar mendengarkan keluh kesah warga desa.

Namun, di balik setiap langkahnya yang penuh pengabdian, ada bayangan kelam yang selalu menghantuinya---sebuah ketidakadilan yang tak kasat mata, namun begitu nyata di setiap sudut kehidupannya sebagai pendamping desa. Bayangan itu berwujud dalam sosok atasannya, seorang Pendamping Desa (PD) bernama Arman.

Arman, meskipun menjabat sebagai atasan, tidak memiliki kapasitas yang memadai dibandingkan Hendra. Pengalamannya di lapangan sangat terbatas, wawasannya tentang pembangunan desa sering kali keliru, dan ketika harus mengambil keputusan penting, ia sering kali mengandalkan insting belaka ketimbang analisis data yang matang. Di mata Hendra, Arman hanyalah orang yang kebetulan beruntung mendapatkan posisi itu, berkat jaringan dan hubungan di luar tugasnya sebagai pendamping.

Namun, meski Hendra tahu kapasitas atasannya jauh di bawahnya, ia tidak pernah berniat untuk menyaingi Arman. Baginya, bekerja sebagai PLD bukan soal jabatan atau status, melainkan tentang pengabdian. Tapi niat tulus itu rupanya tak pernah dimengerti oleh Arman. Sejak awal, Arman merasa terancam oleh keberadaan Hendra.

Siang itu, di ruang kerja yang kecil dan sesak di sekretariat pendamping kecamatan, Arman memandang tajam pada Hendra. Di hadapannya, Hendra dengan tenang menyerahkan laporan bulanan tentang perkembangan desa dampingannya. Laporan itu rapi, komprehensif, penuh dengan gagasan segar yang memperlihatkan bagaimana desa itu bisa maju pesat dalam waktu singkat. Mata Arman bergerak cepat dari satu halaman ke halaman lain, wajahnya berubah suram.

"Bagus, Hendra," ucap Arman pelan, menahan kekesalan. "Kamu kerja keras sekali, ya."

Hendra tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak. Semua ini berkat kerja sama warga desa dan juga arahan dari Bapak."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline