Gelaran MotoGP Mandalika 2024 mencatat kesuksesan besar di atas kertas, dengan pergerakan ekonomi mencapai Rp4,8 triliun dan 120 ribu penonton yang hadir langsung (Tempo, 1/10/24). Ada banyak netizen yang memberi emote entah apa maknanya.
Namun, di balik euforia ini, tersimpan pertanyaan besar tentang siapa sebenarnya yang merasakan dampak nyata dari ajang tersebut. Bagi banyak warga lokal, termasuk mereka yang hidup dalam komunitas pesantren di Lombok, ajang ini tetap terasa jauh dari mereka.
Pengaruh MotoGP terhadap Pesantren dan Masyarakat Lokal
Bagi komunitas pesantren di Lombok, yang merupakan salah satu pilar pendidikan dan budaya di wilayah ini, gelaran MotoGP tentu memberikan dampak, baik secara ekonomi maupun sosial. Pesantren, yang selama ini berperan penting dalam membentuk moral dan pendidikan generasi muda, kini menghadapi dunia yang semakin modern dengan kehadiran sirkuit internasional. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, apakah manfaat ekonomi yang besar ini juga sampai kepada mereka?
Sejauh ini, belum ada indikasi bahwa sektor pendidikan atau pesantren terlibat aktif dalam ekosistem MotoGP. Padahal, banyak santri yang memiliki minat terhadap olahraga, termasuk balap motor, namun kesempatan untuk mengakses dunia MotoGP masih sangat terbatas. MotoGP belum menyentuh ranah pengembangan bakat lokal secara signifikan, termasuk dari kalangan santri, yang mungkin memiliki potensi untuk dikembangkan dalam bidang otomotif atau bahkan sebagai pembalap.
Sirkuit Mandalika mungkin telah mengangkat Lombok di panggung dunia, tetapi belum ada satupun pembalap yang berasal dari Lombok, apalagi dari komunitas pesantren. Padahal, dengan potensi generasi muda yang besar di Lombok, termasuk dari kalangan pesantren, ada peluang besar untuk membina bibit-bibit pembalap lokal. MotoGP dapat menjadi inspirasi, tetapi bagaimana menjadikannya sebagai peluang karir nyata bagi anak-anak Lombok?
Perlunya Pengembangan Bakat Lokal dan Keterlibatan Pesantren
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya yang lebih terarah dalam melibatkan masyarakat lokal, termasuk pesantren, dalam dunia balap motor. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah menciptakan program pengembangan bakat lokal di bidang otomotif dan balap motor. Program ini dapat bekerja sama dengan pesantren, sekolah, dan komunitas lokal untuk menemukan dan membina calon-calon pembalap muda dari Lombok.
Selain itu, lomba balap motor skala lokal dan regional dapat menjadi langkah awal untuk mengasah keterampilan anak muda Lombok, dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sponsor industri otomotif. Jika sirkuit Mandalika bisa menjadi rumah bagi balapan internasional, seharusnya juga ada jalur bagi putra-putri Lombok untuk berkembang dan suatu hari bisa menjadi pembalap yang bersaing di ajang internasional.
Keterlibatan pesantren dalam bidang ini juga bisa menjadi pendekatan yang menarik.