Di balik kesederhanaan asrama berbentuk huruf "U" di Pondok Pesantren Al-Aziziyah, terukir kisah persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Asrama yang diisi oleh para santri putra ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang mereka menuntut ilmu, merajut mimpi, dan membangun persaudaraan yang begitu kuat. Meskipun tampak sederhana, dengan kamar-kamar berukuran empat meter persegi yang berlantai semen tanpa plafon, suasana di dalamnya justru hangat dan penuh dengan kearifan lokal pesantren yang mengedepankan nilai kebersamaan dan saling menjaga.
Bagi mereka santri senior (alumni) yang pernah tinggal di asrama ini, "U" bukan sekadar bentuk bangunan. Ia adalah simbol persatuan dan solidaritas yang terjalin erat di antara para santri. Di tengah segala keterbatasan fasilitas, rasa kebersamaan dan gotong royong menjadi nilai yang ditanamkan sejak awal mereka menjejakkan kaki di pondok. Tidak ada istilah saling merendahkan, apalagi bullying. Yang ada hanyalah sikap saling melindungi dan menyayangi satu sama lain, terutama antara santri senior dan junior.
Persaudaraan yang Terajut dari Kesederhanaan
Saat pertama kali datang ke asrama "U", santri baru sering merasakan suasana asing. Tinggal jauh dari keluarga, dengan aturan pesantren yang ketat, bisa menjadi tantangan tersendiri. Namun, di sinilah kearifan lokal pesantren mulai terlihat. Para santri senior yang sudah lebih dulu beradaptasi dengan kehidupan di pondok segera mengambil peran sebagai pelindung dan pendamping bagi para junior.
Ada sebuah tradisi tak tertulis di asrama ini yang disebut sebagai "adik asuh." Para santri yang lebih muda sering kali "diadopsi" oleh santri senior, bukan hanya untuk sekadar diajari tentang rutinitas pesantren, tetapi juga untuk didampingi agar betah dan merasa nyaman tinggal di pondok. Dalam hubungan ini, terjalin ikatan persaudaraan yang tulus, di mana yang lebih besar melindungi dan membimbing yang lebih kecil. Para santri junior bukan hanya merasa aman, tetapi juga dihargai dan dicintai seperti anggota keluarga sendiri.
Zulkarnaen, salah satu alumni Al-Aziziyah, mengenang masa-masa itu dengan penuh kehangatan. "Waktu saya baru masuk, saya takut dan bingung. Tapi para santri senior di asrama 'U' langsung merangkul kami. Mereka mengajari cara hidup di pondok, dari cara menghafal hingga cara mencuci pakaian dengan benar. Mereka tidak pernah menyuruh atau memaksa, melainkan mengajak dengan penuh kasih sayang."
Menanggulangi Bullying Melalui Kearifan Lokal
Satu hal yang membedakan asrama "U" adalah tiadanya praktik bullying di antara para santri. Fenomena bullying sering kali terjadi di lingkungan pendidikan, namun di asrama ini, hal tersebut hampir tidak pernah terdengar. Bullying, yang didefinisikan sebagai perilaku agresif yang disengaja dan berulang kali dilakukan terhadap individu yang lebih lemah, dapat menciptakan suasana yang tidak nyaman dan berbahaya bagi korban.
Namun, di asrama ini, budaya saling menghargai dan melindungi telah menjadi nilai yang ditanamkan sejak awal. Para santri diajarkan bahwa setiap orang memiliki peran dan kontribusi yang penting. Mereka memahami bahwa membangun rasa percaya diri dan harga diri antar santri adalah prioritas utama. Dalam suasana di mana saling menghormati menjadi norma, bullying menjadi hal yang tidak hanya tidak diterima, tetapi juga dianggap tabu.
Para santri senior berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi junior mereka. Mereka memastikan bahwa tidak ada perilaku merendahkan atau menyakiti satu sama lain. Ketika ada santri yang tampak tertekan atau menjadi sasaran komentar negatif, rekan-rekannya segera mendekati dan memberikan dukungan. Mereka tidak segan-segan untuk menegur jika ada yang mencoba berperilaku negatif, memastikan bahwa setiap santri merasa dihargai.