Lihat ke Halaman Asli

Putusan MK Ihwal Kewenangan Legislasi DPD yang Melegakan

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Jl Merdeka Barat No 6, Jakarta, Rabu (27/3), 15:35 WIB, Sidang Pleno Mahkamah Konstistusi (MK) mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk sebagian. Amar putusan MK menyebutkan bahwa kedudukan DPD di bidang legislasi setara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu dan ikut membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan namun DPD tidak memberi persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). MK juga memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun program legislasi nasional (prolegnas).

RUU tertentu dimaksud adalah RUU mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Mohammad Mahfud MD, selaku ketua majelis hakim merangkap anggota, memimpin sidang pleno. Ia didampingi Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, M Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, dan Anwar Usman serta dihadiri Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau yang mewakili. Hamdan membacakan latar belakang kelahiran DPD dalam pembahasan amandemen UUD 1945, Akil kebagian pokok-pokok persoalan kewenangan konstitusional DPD, dan giliran Mahfud yang membacakan konklusi putusan MK.

Selesai pengucapan amar putusan rapat permusyawaratan sembilan hakim, Ketua DPD Irman Gusman (senator asal Sumatera Barat), Ketua Tim Litigasi DPD I Wayan Sudirta (senator asal Bali), dan kuasa hukum DPD Todung Mulya Lubis menggelar konferensi pers di Media Center MK. Sejumlah senator meramaikan acara antara lain Ketua Komite I DPD Alirman Sori (senator asal Sumatera Barat), mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Papua Paulus Yohanes Sumino (senator asal Papua), Wakil Ketua Pansus Agraria dan Sumberdaya Alam DPD Anang Prihantoro (senator asal Lampung), dan senator asal Sumatera Utara Rahmat Shah.

“Kita bersyukur...”

Wajah mereka sumringah, berseri-seri, ceria. Putusan MK melegakan, menyenangkan. Bagaimana tanggapan mereka dan apa langkah-langkah DPD berikutnya?

Membuka acara, Irman mengucapkan, “Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, karena para negarawan, yang diwakili oleh sembilan hakim dengan independensi yang dimiliki dan pengetahuan yang dipahami, menerima permohonan yang kami ajukan. Hari ini hari bersejarah dalam sistem ketatanegaraan kita karena pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPD mendapatkan porsi yang seharusnya.”

Pihaknya pun segera menyiapkan langkah-langkah pelaksanaan putusan seperti membentuk tim kerja DPR-DPD guna membahas mekanisme yang hasilnya merupakan pedoman revisi tata tertib masing-masing. “Saya, sebagai pimpinan DPD, mengonsolidasikan diri dulu, kemudian melakukan pertemuan konsultasi dengan pimpinan DPR dan Presiden (rencananya tanggal 10 April 2013). Putusan ini tentunya memiliki konsekuensi. Contohnya status pengesahan RUU tertentu menjadi UU yang pembahasannya tidak melibatkan DPD. Kita mengkaji solusinya.”

Mahkamah menyimpulkan, terdapat lima pokok persoalan konstitusional, yaitu kewenangan DPD mengusulkan RUU yang diatur Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara RUU dari Presiden dan DPR; kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945 bersama DPR dan Presiden; kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945; keterlibatan DPD dalam prolegnas yang menurut DPD sama dengan keterlibatan DPR dan Presiden; serta kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945.

Tanggal 14 September 2012 DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap UUD 1945, yang diwakili pimpinan DPD, yaitu Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD), dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Wakil Ketua DPD). Hakdan/atau kewenangan konstitusional DPD dirugikan dengan berlakunya kedua UU.

Mereka memberi kuasa kepada Dr Todung Mulya Lubis, SH, LLM; Dr Maqdir Ismail, SH, LLM; Muspani, SH; Alexander Lay, SH, LLM; Aan Eko Widiarto, SH, MHum; dan Najmu Laila, SH. Para advokat berdomisili hukum di kantor DPD Jl Jenderal Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta 10270, baik bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama pemberi kuasa. Berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 320/PAN.MK/2012, Kepaniteraan MK mencatatnya dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tertanggal 17 September 2012.

Meluruskan makna

Todung menambahkan, “Hari ini adalah hari bersejarah. Kita bersyukur bahwa MK meluruskan makna Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD dalam mengajukan RUU dan ikut membahas RUU sejak awal hingga akhir. Proses legislasi yang tidak melibatkan DPD, sejauh menyangkut kewenangan konstitusionalnya, menjadi cacat hukum. MK mengembalikan kewenangan DPD bersama DPR dan Presiden dalam menentukan Prolegnas. Tiga persoalan ini inti keputusan MK.”

“Walaupun DPD tidak memberikan persetujuan RUU menjadi UU (dalam rapat paripurna DPR), buat kami, ketika mengajukan RUU dan ikut membahas RUU (dalam dua tingkat pembicaraan) berarti sangat kecil peluang menghilangkan substansi usulan DPD.”

MK memutuskan tindak lanjut pembahasan RUU yang berasal dari DPR, DPD, atau Presiden melalui dua tingkat pembicaraan. Keterlibatan DPD semakin dibatasi atau, lebih tepatnya, dikebiri UU MD3 dan UU P3 karena DPD hanya dilibatkan dalam dua dari tiga tahap Pembicaraan Tingkat I, yakni menyampaikan pengantar musyawarah dan pendapat mini. Kedua tahapan merupakan tahap kesatu dan ketiga, sementara kegiatan inti pembahasan ialah tahap kedua, yakni mengajukan dan membahas daftar inventaris masalah (DIM).

Dalam Pembicaraan Tingkat II, DPD menyampaikan pendapat sebelum persetujuan DPR dan Pemerintah. Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR yang kegiatan-kegiatannya ialah penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPR, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPR; pendapat akhir dari Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya; pernyataan persetujuan atau penolakan dari DPD yang disampaikan pimpinan DPD terhadap RUU tertentu.

“Constitutional legacy” Mahfud

“Putusan ini bukan kado. Saya sih kadang-kadang berpikir, karena Pak Mahfud lengser tanggal 1 April 2013, putusan ini seolah-olah merupakan kado. Tapi putusan ini ibarat constitutional legacy Mahfud yang memimpin MK, tanpa bermaksud mengenyampingkan peran hakim yang lain. Putusan ini bulat, tidak seorang pun (hakim) dissenting opinion. Apresiasi dan respek kita kepada MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi, the guardian and the interpreter of constitution,” Todung menyinggung majority opinion hakim sebagai warisan Mahfud.

Todung menuturkan, “MK menegaskan arah dan tujuan reformasi yang kita gerakkan sejak tahun 1998. Arsitektur ketatanegaraan, khususnya proses legislasi, mengalami penyesuaian pasca-putusan. Act of deliberacy tidak lagi monopoli DPR dan Presiden. Proses legislasi menjadi kewenangan konstitusional DPR, DPD, dan Presiden. Sebagai hari bersejarah, this is the millstone, this is the confirmation of DPD.”

Wayan mengucapkan, “Atas nama Tim Litigasi DPD dan seluruh senator, kami membuktikan bahwa DPD tidak meminta tambahan kewenangan. Kami hanya meminta tafsiran MK atas UU MD3 dan UU P3 terhadap UUD 1945. Tenyata pendapat kami dan para ahli sama dengan pendapat sembilan hakim MK.”

“Kami berterimakasih kepada senator periode sekarang dan sebelumnya, karena perjuangan ini sudah dua periode, sejak periode 2004-2009. Kami pernah merintis nego-nego, melakukan amandemen, membentuk Tim 25, dan baru tahun ini terwujud.”

Semasa Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita dan Ketua DPR R Agung Laksono, DPR dan DPD membentuk Tim 25 yang terdiri atas 14 anggota tim kerja (timja) DPR dan 11 anggota timja DPD. Tugasnya: membangun dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerjasama serta mekanisme hubungan kelembagaan kedua kamar. Hingga periode 2004-2009 berakhir, Tim 25 jarang rapat dan gagal bekerja.

Pemungkasan tugas Tim 25 tersebut krusial mengingat pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPD dipengaruhi efektivitas dan efisiensi kerjasama serta mekanisme hubungan kelembagaan keduanya. Optimalisasi fungsi legislasi dalam pengajuan, pembahasan, dan pertimbangan atas RUU tertentu adalah wujud checks and balances antar-lembaga perwakilan.

DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional, sebagai imbangan atas prinsip checks and balances terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan politik partai-partai dalam kerangka kepentingan nasional.

Jangan melecehkan MK

“Sekarang posisi DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU sama sekali setara, kecuali persetujuan (atau pengesahan RUU menjadi UU), dengan DPR dan Presiden. Jangan ada lagi ucapan ‘DPD itu lemah’. Jangan. DPD sudah menemukan kembali jati dirinya benar-benar berdasarkan UUD 1945, tidak ada lagi yang bisa menghilangkannya. Tidak ada,” Wayan menandaskan.

“Dulu kami menyatakan bahwa status sekian UU yang disahkan sebelum putusan ini, yang menyangkut kewenangan DPD, benar-benar inkonstitusional. Kenapa? Karena pembahasannya tidak mengikutsertakan DPD. Sekarang terbukti anggapan kami itu. Saya tegaskan, status sekian UU bidang tertentu yang merupakan produk DPR, benar-benar inkonstitusional. Sekali lagi, benar-benar inkonstitusional.”

“Saya ingatkan, DPR jangan melecehkan MK. Dalam UU Pemilu (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), putusan MK mengenai domisili calon anggota DPD tidak diindahkan DPR. Dulu kami ajukan judicial review, dikabulkan MK bahwa domisili di provinsi yang akan diwakili, tapi tidak diindahkan DPR. Kali ini, kalau tidak juga diindahkan DPR, saya bertanya, apakah rakyat membiarkan sikap mereka?”

Wayan juga menandaskan bahwa putusan MK tidak berlaku surut tetapi berlakunya sejak diucapkan. Jadi, sifatnya final dan mengikat (final and binding) karena memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan mencakup kekuatan hukum yang mengikat. “Seberapa besar dampak putusan ini terhadap status sekian UU itu, kita serahkan kepada perkembangan. Hasil pertemuan konsultasi dengan pimpinan DPR dan Presiden menentukan nasib sekian UU itu tanpa mengurangi aturan bahwa putusan MK berlaku ke depan.”

Todung menyambung, dirinya masih dalam suasana bahagia sehingga belum sempat memikirkan status sekian UU tertentu itu. “Saya masih dalam suasana bahagia, belum sempat memikirkannya. Yang pasti, sekarang DPD mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengamandemen sekian UU itu. DPD bisa melakukan koreksi. Ke depan, proses legislasinya jelas lebih mudah.”

Menutup acara, Wayan menambahkan, “Kami bisa saja melakukan revisi kalau sekian UU itu tidak memuat aspirasi DPD.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline