Berbagai pihak mendukung dan mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan dimasukkan daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2013. UU Kelautan diharapkan menjadi konsensus nasional pembangunan kelautan Indonesia serta menjadi basis utama pembangunan bangsa dan negara di masa depan yang mengimplementasikan blue economy sebagai paradigma pembangunan perikanan dan kelautan.
Demikian benang merah Roundtable Meeting RUU Kelautan di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/10). Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggelarnya bersama Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) yang mengikutsertakan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Acara dihadiri antara lain Penasihat Senior Menteri Kelautan dan Perikanan Hasjim Djalal serta mantan Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) II DPD yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja.
Wakil Ketua DPD Laode Ida menjelaskan bahwa tujuan utama roundtable meeting dalam rangka membangun konsensus nasional menuju Indonesia sebagai negara maritim di dunia yang kuat, tangguh, dan mandiri sesuai visi pembangunan Indonesia; menyusun langkah konkrit agar RUU Kelautan dimasukkan daftar Prolegnas Tahun 2013; dan membangun persepsi bahwa bidang kelautan tanggungjawab semua pihak.
Ia menyatakan, jika RUU Kelautan dimasukkan daftar Prolegnas Tahun 2013 maka semua pihak semestinya memiliki tanggungjawab, bukan hanya Dewan Kelautan Indonesia, Komisi IV DPR, Komite II DPD, pakar, dan perguruan tinggi, hingga penetapan atau pengesahannya menjadi undang-undang. “DPD merampungkan RUU Kelautan tahun 2010. Kami ingin menjadikannya sebagai konsensus nasional pembangunan yang pendekatannya blue economy.”
Menteri Kelautan dan Perikanan selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia Sharif Tjitjip Sutardjo mengakui bahwa Indonesia belum memiliki UU Kelautan kendati hukum Internasional mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. “Kita sangat memerlukan UU Kelautan sebagai konsep strategi membangun negara kepulauan yang maju, mandiri, adil, dan makmur. Kita berharap UU Kelautan menjadi basis utama pembangunan bangsa dan negara.”
Merujuk Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menetapkan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, ia menyatakan, posisi daerah sebagai ujung tombak program pembangunan di era otonomi daerah.
RPJPN merupakan pengganti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di era Orde Baru adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. “Di dalamnya termuat misi Indonesia sebagai negara kepulauan yang maju, mandiri, adil, dan makmur. Maknanya pembangunan nasional ke depan berbasis archipelago oriented, bukan terbatas continental oriented,” ia menyambung.
Kompilasi kedua produk hukum (Pasal 25A UUD 1945 dan UU 17/2007) menciptakan konsekuensi secara geopolitik dan geoekonomi, bahwa Indonesia memiliki kedaulatan dan sumberdaya ekonomi yang besar atas segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia. Negara-negara lain mengakuinya dan menerima konsepsi negara kepulauan dalam konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Pemerintah meratifikasi atau mengadopsi perjanjian internasional tersebut dan mengesahkannya menjadi UU 17/1985 tentang Pengesahan The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea. “Keputusan ini membuat kita semakin maju beberapa langkah dalam menjadikan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan sebagai motor penggerak pembangunan nasional.”
RUU Kelautan versi DPD
Ketua Komite II DPD Bambang Susilo mengherankan sikap Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Komisi IV DPR yang tidak mengindahkan RUU Kelautan versi DPD. “Mengapa DPR tidak memanfaatkannya sebagai bahan rujukan. Mengapa RUU kami hilang di DPR? Padahal, kami mengesahkannya tahun 2010. Dalam rapat kerja terakhir, kami menyerahkan RUU versi kami kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.”
Ia menyinggung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang proyek investasinya relatif tidak banyak menggarap sumberdaya kelautan. Padahal, dicita-citakan Indonesia tahun 2045 menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang pertumbuhan ekonominya tinggi, inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. “Kalau sumberdaya kelautan banyak digarap MP3EI menjadi sebagai proyek investasi maka Indonesia bisa termasuk 5 besar, tidak hanya 10 negara di dunia tahun 2025.”
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo menjelaskan beberapa aturan dalam RUU Kelautan, yaitu ruang lingkup UU Kelautan menghindari tumpang tindih; yurisdiksi nasional dan kewenangan negara di luar yurisdiksi nasional meliputi kedaulatan nasional untuk memanfaatkan dan mengatur potensi kelautan serta mempertegas batas teritorial sesuai Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982; pengaturan kelembagaan koordinasikelautan menuju optimalisasi potensi kelautan.
Berikutnya penegakan kedaulatan dan hukum di laut, yaitu kebutuhan institusi koordinasi penegakkan hukum di laut (menghindari tumpang tindih); tata ruang kelautan, yaitu pemanfaatan dan pendayagunaan laut serta pemanfaatan ruang kelautan berwawasan lingkungan; serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yiatu mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan serta ekosistem kelautan yang asalnya dari semua sumber pencemaran laut.
Firman mengingatkan bahwa UU Kelautan menjadi dasar hukum pengelolaan kelautan yang komprehensif dan integratif. “UU Kelautan diperlukan sebagai konsep strategi membangun negara maritim yang tangguh dan berdaulat,” ia menegaskan. Karenanya, RUU Kelautan dijadikan momentum untuk mendorong kesamaan visi bahwa laut prioritas utama pembangunan nasional dan RUU Kelautan didorong daftar Prolegnas Tahun 2013 yang dibahas lintas komisi melalui panitia khusus (pansus) DPR.
Mantan Ketua Komisi V DPR Ahmad Muqowam juga berpendapat senada. “RUU Kelautan belum sempat di-Prolegnas-kan tahun 2011 dan 2012.” Beberapa kendala pembahasannya, yaitu belum ada konsensus ruang lingkup dalam RUU apakah ocean law atau undang-undang terbatas mengatur sumberdaya alam (tidak maritim, pelayaran, wilayah negara, dan pertahanan keamanan); belum ada kesamaan pandangan mengenai kelembagaan penegakan hukum seperti sea and coastguard; dan lebih banyak stakeholders yang terlibat.
Menurutnya, RUU Kelautan memuat aturan yang belum diatur undang-undang sektoral yang terkait pembangunan kelautan, peningkatan fungsi pertahanan dan keamanan, yaitu optimalisasi sea and coastguard yang operasionalnya efektif dalam penegakan hukum dan tidak hanya fungsi koordinatif; penegakan hukum dan ekonomi biaya tinggi karena banyak instansi yang terkait, serta perkembangan yang terbaru di sektor maritim yang bersifat lintas sektoral yang belum diatur dalam undang-undang manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H