Lihat ke Halaman Asli

Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir Tidak Berwatak Sektarianistik

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin menyatakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Mudzakkir merupakan figur-figur Muhammadiyah yang tidak berwatak sektarianistik, apalagi berego sentrisme persyarikatan dan keagamaan. Mereka berwatak kenegarawanan yang sangat tinggi. Selain tiga tokoh, Muhammadiyah mengusulkan duo proklamator, Soekarno-Hatta, menjadi pahlawan nasional.

“Kebetulan mereka figur-figur Muhammadiyah. Walaupun figur-figur Muhammadiyah, tapi mereka tidak berwatak sektarianistik, apalagi beregosentrisme persyarikatan dan keagamaan. Mereka berwatak kenegarawanan yang sangat tinggi,” ia menyatakannya saat memberi sambutan Seminar Nasional “Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Mudzakkir”.

Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional menyelenggarakan seminar nasional bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/9). Senator asal DKI Jakarta Andi Mapetahang Fatwa atau AM Fatwa menjadi Ketua Panitia Pengusulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Mudzakkir.

Setahun sebelumnya, DPD menggelar Seminar Nasional “Pembangunan Nasional Sebagai Totalitas Pembangunan Daerah” (Menarik Hikmah Pergolakan Daerah: PRRI dan Permesta) bersama Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara. Fatwa bertindak selaku Ketua Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara yang menggelar acara serupa di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, dan Gedung Bupati Solok Selatan, Padang Aro, guna mengenang cita-cita kedaerahan Sjafruddin dan mengakuinya sebagai pahlawan nasional.

Ia adalah figur Muhammadiyah yang mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Kemakmuran yang tegas, cepat, dan berani sekaligus pencipta “Oeang Republik Indonesia” (ORI). Posisinya sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PRRI) merupakan pelanjut estafet pemerintahan Indonesia yang lumpuh setelah Belanda menangkap Soekarno-Hatta, presiden dan wakil presiden, selama kurun waktu tahun 1948-1949.

Menjelang Hari Pahlawan tanggal 8 November 2011 di Istana Negara, Presiden menganugerahi Sjafruddin dan tokoh Muhammadiyah lainnya, Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (juga penulis dan aktivis) gelar pahlawan nasional. Muhammadiyah mendukung 100 persen gelar buat Sjafruddin yang disebut-sebut the forgotten President of Indonesia.

Menyangkut gelar pahlawan nasional Ki Bagus, Kasman, Abdul Kahar, dan Soekarno-Hatta, Din melanjutkan, “Mereka tidak mengharapkan tanda jasa, dan saya meyakini, mereka tidak memerlukan tanda gelar. Tetapi kita, sebagai generasi penerus, berkewajiban untuk tidak melupakan sejarah dan menghargai jasa mereka, sekaligus mengukuhkan mereka sebagai figur berwatak kenegarawanan agar menjadi pelajaran dan pembelajaran.”

“Atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, saya menyambut acara hari ini, termasuk proses pengusulan ketiga tokoh, bersama Soekarno-Hatta, menjadi pahlawan nasional. Sebagai bangsa berbudaya, kita jangan melupakan sejarah; dan sebagai umat beragama, kita menghargai jasa mereka dalam membentuk negara, termasuk ketika penyusunan konstitusi,” ia menegaskannya.

Ki Bagus, Kasman, dan Abdul Kahar adalah tiga figur Muhammadiyah yang berkonstribusi ketika penyusunan Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) melalui Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan yang merumuskan dasar negara. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengusukan tiga nama sebagai pahlawan nasional, bersama Soekarno-Hatta, karena mereka mendarmabaktikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Ki Bagus, yang bergelar pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia, adalah Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) (nomenklatur dulu, nomenklatur kini: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) serta anggota BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berandil dalam penyusunan muqadimah UUD 1945.

Kasman adalah Jaksa Agung periode 1945-1946, Menteri Muda Kehakiman Kabinet Amir Sjarifuddin II, dan Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) atau cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia bergiat di pasukan gerakan kepanduan Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan (HW), Wakil Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, dan salah seorang yang berperan dalam pembentukan lembaga bantuan hukum di Muhammadiyah

Sementara, Abdul Kahar adalah salah satu tokoh penandatanganan Piagam Jakarta yang merupakan cikal bakal konstitusi Indonesia. Ia menjadi rektor magnificus dua periode Universitas Islam Indonesia (UII) ketika bernama Sekolah Tinggi Islam (STI). Ia juga anggota BPUPKI. Abdul Kahar adalah Direktur Mu’allimin Muhammadiyah, kemudian Pengurus Pusat Majelis Pembina dan Kesejahteraan Umat (PKU) Muhammadiyah, dan Pengurus Pusat Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.

Soekarno, setelah menjadi anggota Muhammadiyah, adalah Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah (kira-kira Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah) di Bengkulen (Bengkulu) dan mengajar di perguruan Muhammadiyah ketika Belanda membuangnya ke sana. Dalam biografi karya Cindy Adams, Soekarno berharap panji Muhammadiyah menyelubungi peti matinya.

Sebagai Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Julukan Pahlawan Proklamator untuk keduanya, menurut undang-undang, tak tergolong gelar pahlawan nasional kendati ada yang berpendapat berbeda. Soekarno bersama Hatta dianugerahi gelar Pahlawan Proklamator di era pemerintahan Soeharto tahun 1986.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline