Lihat ke Halaman Asli

Sejumlah Senator Keluhkan Sikap Komisi II DPR dalam Pembahasan RUU Tertentu

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejumlah senator Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengeluhkan sikap sejumlah anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak ikhlas membuka ruang partisipasi atau memberi kesempatan kepada Komite I DPD untuk terlibat intens ikut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu di Komisi II DPR. Sebagian RUU tertentu tersebut merupakan RUU versi DPD, yang menjadi core pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPD merujuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

“Bagaimana nasib RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Desa usulan kita?” senator asal Jawa Tengah Denty EW Pratiwi, yang juga Sekretaris Tim Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta, bertanya kepada Wakil Ketua Komite I DPD Alirman Sori, senator asal Sumatera Barat, di Ruangan Rapat Komite I DPD lantai 2 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/6).

Peraturan Tata Tertib DPR dan Peraturan Tata Tertib DPD menerangkan, lingkup Komisi II DPR ialah pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur negara dan reformasi birokrasi, kepemiluan, serta pertanahan dan reforma agraria. Sedangkan lingkup Komite I DPD ialah otonomi daerah, hubungan pusat-daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah. Sebagai sesama lembaga perwakilan level nasional, partner Komite I DPD adalah Komisi II DPR.

Emanuel B Eha, Ketua Tim Kerja RUU Pemerintahan Daerah, menjelaskan hasil pertemuan konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan DPD pekan lalu, bahwa Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan kebanggaannya atas kinerja DPD, utamanya pelaksanaan fungsi pengajuan usul RUU tertentu seperti RUU Keistimewaan Yogyakarta, RUU Pemerintahan Daerah, RUU Desa, dan RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang menjadi keputusan Sidang Paripurna DPD beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, ia mendukung sepenuhnya Komite I DPD agar ikut dalam pembahasannya di Komisi II DPR.

Semestinya, ia menyatakan, komisi DPR sebagai partner komite DPD mencontoh sikap Ketua DPR yang ikhlas membuka ruang partisipasi untuk komite DPD agar ikut dalam pembahasan RUU tertentu setelah mengajukan usul RUU versi DPD. “Sayangnya, banyak teman di komisi DPR tidak ikhlas jika kita terlibat intens agar ikut dalam pembahasan, kecuali pengambilan keputusan. Padahal, Ketua DPR mengakui kinerja kita. RUU Pemerintahan Daerah versi kita sangat membantu komisi DPR, bahan utama DIM (daftar inventarisasi masalah). Kita hanya bisa menunggu undangan mereka.”

Senator asal Sulawesi Tenggara Kamaruddin, senator asal Nanggroe Aceh Darussalam T Bachrum Manyak, dan senator asal Lampung Anang Prihantoro mendukung pengevaluasian dan penyempurnaan mekanisme kerjasama antaralat kelengkapan DPR dan DPD, khususnya dalam pembahasan RUU tertentu yang merupakan usulan DPD. “Saya prihatin bila kita tambah hari tambah lemah. Contohnya pembentukan daerah otonom baru. Tanpa pandangan dan pendapat Komite I DPD, ternyata Komisi II DPR tetap saja jalan. Jangan kita biarkan begini!” Bachrum menegaskan.

Apalagi, ia melanjutkan, selain melakukan sidang di ibukota negara, kegiatan DPD di daerah-daerah dan tempat lain bertujuan untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah dalam lingkup alat kelengkapan. Kemudian, menyampaikan perkembangan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta melakukan pengawasan undang-undang tertentu.

Kendati Komite I DPD tidak terlibat intens, selaku Ketua Tim Kerja RUU Pembentukan Daerah Otonom Baru, Kamaruddin menegaskan bahwa Komite I DPD tetap bersedia untuk mendengarkan keterangan/penjelasan DPR dan Pemerintah atas 19 RUU pembentukan daerah otonom baru guna mengawali pembicaraan tingkat I. “Kita antusias. Pandangan dan pendapat tentang usulan pembentukan daerah otonom baru itu kita serahkan.”

Alirman mendukung pemikiran sejumlah senator. “Tidak hanya pandangan dan pendapat DPD tentang RUU pembentukan daerah otonom baru, pandangan dan pendapat kita tentang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) juga begitu. Kita berharap, komunikasi antara pimpinan DPR dan pimpinan DPD tentang keterlibatan kita dalam pembahasan RUU tertentu, kendati tidak ikut dalam pengambilan keputusan, mengalami kemajuan yang sangat berarti, kita terlibat intens. Keterlibatan intens kita merupakan political standing untuk berkontribusi dalam pembahasan RUU tertentu sekaligus mempertanggungjawabkan aspirasi masyarakat dan daerah.”

Menyurati pimpinan DPR

Sebelumnya, pimpinan DPD menyurati pimpinan DPR mengenai 13 isu Peraturan Tata Tertib Bersama antara DPR dan DPD yang menjadi sumber sengketa antarlembaga negara. Namun hanya satu isu yang terakomodasi, yakni sidang bersama DPR-DPD. Selanjutnya, pimpinan DPD memutuskan pembentukan Tim Ligitasi yang terdiri atas 20 senator. Tim dikoordinir Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD I Wayan Sudirta (senator asal Bali) serta diarahkan Ketua DPD Irman Gusman (senator asal Sumatera Barat) dan dua Wakil Ketua DPD, Laode Ida (senator asal Sulawesi Tenggara) dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (senator asal DI Yogyakarta).

Tim Litigasi DPD bertugas untuk mengkaji materi ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang menjadi sumber sengketa antarlembaga negara, termasuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPD) sekaligus merekomendasikan hasil kajiannya sebagai materi judicial review undang-undang terhadap UUD 1945.

Beberapa isu yang menganggu hubungan DPR-DPD, antara lain undang-undang yang disahkan Rapat Paripurna DPR menjadi undang-undang DPR meskipun usulan DPD. Selain itu, tidak dicantumkan DPD dalam “konsideras” setiap keputusan DPR atas RUU tertentu yang dalam pembahasan ikut melibatkan DPD. Puncak persoalannya ketika Rapat Paripurna DPR tentang pengambilan keputusan RUU APBN-Perubahan Tahun 2012 yang satu poinnya menunda penaikan harga BBM bersubsidi tidak mencantumkan keputusan Sidang Paripurna DPD yang menolak penaikan harga BBM bersubsidi dalam “konsiderans”.

Merujuk UU 27/2009, DPD mempunyai fungsi pengajuan usul, ikut dalam pembahasan, dan memberikan pertimbangan bidang legislasi tertentu; serta pengawasan undang-undang tertentu. Selanjutnya, DPD mempunyai tugas dan wewenang dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang otonomi daerah, hubungan pusat-daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat-daerah.

DPD ikut membahas rancangan undang-undang otonomi daerah; hubungan pusat-daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat-daerah yang diajukan baik DPR maupun pemerintah; memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang pajak, pendidikan, dan agama; memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Selanjutnya, DPD dapat melakukan pengawasan undang-undang otonomi daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; hubungan pusat-daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; menerima hasil pemeriksaan keuangan negara BPK untuk dijadikan bahan pertimbangan DPR tentang rancangan undang-undang APBN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline