Lihat ke Halaman Asli

PAP DPD Menghimpun Masalah Kepegawaian

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menghimpun masalah kepegawaian menyangkut pemutasian dan pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) di daerah yang terindikasi melanggar peraturan. PAP DPD menyampaikannya kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) ketika rapat dengar pendapat (RDP) di Gedung DPD, Rabu (7/3). Acara dipimpin Ketua PAP DPD Farouk Muhammad.

Farouk menjelaskan, masalah kepegawaian yang dihimpun tersebut umumnya terjadi di daerah seluruh Indonesia. Sebagai alat kelengkapan yang menindaklanjuti temuan BPK, utamanya terindikasi merugikan negara, PAP DPD menerima pengaduan masyarakat mengenai pemutasian dan pengangkatan PNS di daerah yang terindikasi melanggar peraturan. “PAP DPD mengundang Kementerian PAN dan RB guna mengklarifikasi masalah,” ujarnya, saat RDP di Gedung DPD, Rabu (14/3).

Mewakili pimpinan PAP DPD, anggota PAP DPD Sulistiyo memaparkan masalah tersebut kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN dan RB) Azwar Abubakar. Masalah kepegawaian tersebut adalah kualitas dan kinerja pegawai yang makin menurun, rekrutmen sarat korupsi dan nepotisme, dan faktor like or dislike melatari mutasi jabatan struktural. “Pemutasian tidak berbasis mutu, tapi jumlah sumbangan kepada pembina kepegawaian di daerah,” katanya.

Kemudian, calon pegawai negeri teranulir atau terkenal sebagai kasus CPNS teranulir yang kasus terbesarnya terjadi di Jawa Tengah. “Calon pegawai yang lolos seleksi, diumumkan di media massa, beberapa hari kemudian dianulir. Jumlah mereka sekitar 2.800 orang, sekarang tinggal 1.100 pegawai karena sebagian sudah diangkat. Kasus serupa terjadi di beberapa daerah, tetapi kasus terbesar di Jawa Tengah,” sambungnya.

Menyangkut tenaga kependidikan, masalah kepegawaian ialah rekrutmen kepala sekolah yang tidak jelas bahkan diwacanakan pengangkatannya menjadi pegawai struktural, batas usia pensiun pengawas sekolah yang 56 tahun ternyata bisa ditarik-ulur tergantung kadar dukungan yang bersangkutan kepada bupati/walikota di daerahnya, guru yang baik enggan menjadi penilik sekolah karena tunjangan berkurang dan batas usia pensiun hanya 56 tahun, pengangkatan guru bantu yang tersisa 14 ribu, penghentian pengangkatan tenaga administrasi sekolah yang berlangsung lebih 10 tahun.

Tenaga honorer juga menjadi masalah. Merujuk Surat Edaran Menpan Nomor 5 Tahun 2010, tenaga honorer yang tergolong kategori kesatu akan langsung diangkat menjadi pegawai. Sedangkan kategori kedua, data 650 ribu tenaga honorer belum lengkap di pusat karena provinsi/kabupaten/kota terlambat merekapnya. “Masalah ini menimbulkan rasa ketidakadilan karena datanya berubah-ubah,” ucap Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini, seraya mempertanyakan peraturan pemerintah (PP) tentang penyelesaian masalah tenaga honorer.

Menanggapi masalah kepegawaian itu, Menteri PAN dan RB membenarkan bahwa kualitas pegawai negeri makin menurun. “Hanya 5% yang memiliki kompetensi tertentu, selebihnya memiliki kompetensi umum. Sehingga 47,5% yang tidak bermutu,” kata Azwar. Penyebabnya ialah rekrutmen yang jelek dan promosi yang juga jelek.

Rekrutmen jelek karena puluhan tahun instansi selalu menerima tenaga honorer yang tidak jelas kualitasnya, belakangan mereka mendesak agar diangkat. “Kasus ini garbage. Seluruh pegawai negeri mestinya diseleksi. Seleksi merupakan hukum alam untuk bersaing sehat. Jika daerahnya masih terbelakang dan tertinggal maka 40% pegawainya dari lokal, sisanya dari luar daerah. Aturan ini akan melahirkan pegawai yang lebih baik.”

Promosi yang juga jelek juga menyebabkan kualitas pegawai makin menurun karena pembina kepegawaian adalah bupati/walikota. Mestinya sekretaris daerah (sekda). Dalam UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dinyatakan bahwa yang menjadi pembina kepegawaian adalah sekda. “Bupati/walikota hanya pembuat kebijakan. UU menjelaskan, eselon I dan II harus melalui fit and proper test,” sambung Menteri PAN dan RB.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline