Lihat ke Halaman Asli

Sarwono Kusumaatmadja: “Banyak Persepsi Kita Tentang Sumber Daya Laut yang Harus Dibereskan”

Diperbarui: 13 Juli 2015   12:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mantan Ketua Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) empat tahun berturut-turut, Sarwono Kusumaatmadja, mempunyai “cerita-cerita menarik” semasa menjabat sebagai menteri. Menarik bukan dalam pengertian sebenarnya. Tapi, persepsi kita tentang sumberdaya laut yang besar, banyak, dan kaya, serta cara mengelolanya menjadi sumber masalah.

Sekali terbentuk, persepsi bisa lebih kuat ketimbang kenyataan. Ia didasari sikap, nilai-nilai yang diyakini, latar belakang budaya, pendidikan, emosinya saat itu, pengalaman. Apa jadinya kalau persepsi terbentuk karena informasi dan pengetahuan yang minim?

Celakanya, kita juga minim peraturan di tengah eksploitasi dan degradasi sumberdaya laut yang gila-gilaan. Perangkat kelembagaan yang minim memperparah koordinasi. Padahal, banyak instansi (kementerian/lembaga) yang “rebutan” di laut; tapi kepentingannya parsial sektoral, bukan integral holistik.

“Banyak persepsi kita tentang sumberdaya laut yang harus dibereskan,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komite II DPD. Ia narasumber bersama Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X dan penasihat senior Menteri Kelautan dan Perikanan Hasjim Djalal yang ahli kelautan. RDP membahas RUU Kelautan di lantai 3 Gedung B DPD, Senayan-Jakarta, Senin, (20/9/2010).

Misalnya, tentang hak pengelolaan laut. Pemicu konflik antarnelayan adalah salah satunya disebabkan mispersepsi undang-undang pemerintahan daerah yang memberi hak pengelolaan laut 4-12 mil untuk kabupaten/kota dan provinsi. “Praktiknya, orang-orang daerah menafsirkannya sebagai kedaulatan. Karena merasa berdaulat di wilayah lautnya, nelayan daerah lain diusirin.”

Sarwono pun menceritakan pengalamannya. Ketika menjabat sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan, ia menerima telepon kelompok nelayan di Gorontalo. Mereka mengeluhkan kehadiran “nelayan asing” yang menjarah ikan-ikan di perairan Gorontalo. Kapalnya lebih besar, alat tangkapnya lebih modern.

“Saya mikir, nelayan asing dari mana? Filipina, Jepang, atau Korea? Saya tanya, “Pak, kapal asing dari mana?”

“Ah, orang-orang Bugis dan Makassar, Pak.” Ia meniru jawaban seorang wakil kelompok nelayan di Gorontalo. Beberapa anggota Komite II DPD tertawa.

“Begitu persepsinya. Mereka menyebutnya ‘nelayan asing’. Orang-orang di selatan (Bugis, Makassar) melanggar kedaulatan wilayah laut orang-orang di utara (Gorontalo).”

Bagaimana solusinya? Sebagai menteri, ia menerapkan zona-zona penangkapan yang disetujui kelompok-kelompok nelayan di sana beserta jadwal waktu penangkapannya.

Menurutnya, nelayan-nelayan mencari ikan hingga lintas provinsi, karena stok ikan yang berkurang di fishing area tradisional. Overfishing. Sementara itu, stok ikan justru melimpah di fishing area yang sedikit nelayannya. Underfishing. “Jumlah nelayan bertambah, tapi ikannya berkurang. Juga, karena degradasi lingkungan.”

“Daerah-daerah harus memiliki kebijakan untuk memulihkan fishing area. Dulu-dulu begitu, tapi tidak melalui institusi negara. Hukum adat. Biasanya, nelayan ngumpul dan berunding kapan musim tangkap, di mana area tangkap, dan siapa yang nangkap di situ. Waktu-waktu itu, mereka tidak persoalkan nelayan daerah lain. Asalkan masuknya lewat musyawarah mufakat, mereka sudah dianggap saudara.”

“Sebetulnya, falsafah tersebut bisa dihidupkan lagi, hanya saja pengaturan kelembagaannya harus beda mengingat eksistensi kita sebagai satu negara, bukan sekadar sekumpulan masyarakat adat. Sayangnya, semangat kebersamaan hilang kini, karena terjadinya mispersepsi. Hak pengelolaan laut ditafsirkan sebagai hak berdaulat, atau malah kedaulatan.”

Ketika menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, ia terbang rendah menumpang F-29 dari Denpasar ke Kupang. Di sebelahnya duduk ahli biologi kelautan. “Orang ini kasih tahu saya betapa kayanya NTT (Nusa Tenggara Timur). Pantai-pantainya kaya. Bayangkanapa yang terjadi kalau seorang menteri, pengambil keputusan, terbang rendah di jalur yang sama tapi di sebelah saya ahli perpadian atau pertanian. Informasinya akan beda. Dia akan bilang NTT itu nggak ada apa-apanya. Nggak ada air, kita nggak bisa nanam padi.”

“Celakanya, NTT didakwa oleh pusat sebagai daerah miskin, lantas orang-orangnya percaya saja. Kelakuannya jadi orang miskin betul, padahal kaya.”

“Salah-salah persepsi ini harus dibereskan agar kita betul-betul masuk ke paradigma negara kelautan. Persepsi kita punya apa-apa dan tidak punya apa-apa tergantung pengetahuan atau informasi. Setelah DPD selesai menyusun UU Kelautan, persepsi tentang sumberdaya laut harus masuk ke benak pejabat-pejabat daerah, agar mempengaruhi kebijakannya.”

Persepsi yang tidak beres adalah masalah kita sejak lama. Masalah lainnya, Indonesia gagal memanfaatkan posisi strategis di antara dua samudera dan dua benua, Singapura yang menangguk untung; gagal menjaga sumberdaya (resources) laut kita yang besar, banyak, dan kaya, karena dicuri; dan kita gagal menjaga kelestariannya.

“Kita butuh pengetahuan. Yang itu kita minim. Kita juga butuh peraturan. Yang ini juga kita minim. Catatan statistik, kita rugi opportunity miliaran dolar. Karena minim pengetahuan dan peraturan, yang untung justru negara-negara yang bukan kepulauan. Mereka (negara asing) ngiler, karena perairan Indonesia ideal sebagai laboratorium kegiatan perikanan dan kelautan. Cuma, kita nggak ngerti tawaran mereka. Karena nggak ngerti, kita cenderung menolaknya.”

Selain ideal sebagai laboratorium perikanan dan kelautan, “Sejak zaman dulu, perairan Indonesia dianggap strategis bagi lalu lintas transportasi dan perdagangan.” Sayangnya, kita minim pengetahuan dan peraturan ditambah perangkat kelembagaan sehingga tidak bisa mengantisipasi tren kegiatan ilegal yang implikasinya menginternasional. “Perairan Indonesia strategis bagi kegiatan pengungsi manusia-manusia perahu. Kasus-kasusnya ada, implikasinya akan berbeda.”

Karena minim aspek pengetahuan, ia mengatakan, Indonesia membutuhkan lembaga pendidikan dan penelitian yang fokus mempelajari ilmu perikanan dan ilmu kelautan. “Kita harus memiliki sekolah yang khusus mempelajarinya. Kita harus memiliki universitas dan pusat-pusat studi perikanan dan kelautan.

“Contohnya Unpatti (Universitas Pattimura). Didirikan tahun 60-an untuk menjadi pusat studi perikanan dan kelautan. Sekarang, jurusan dan fakultas apa yang banyak di sana?” Agar tidak sia-sia, Pemerintah Provinsi Maluku harus mempertegas kembali visi dan misi pendirian Universitas Pattimura sebagai kampus yang fokus mempelajari ilmu perikanan dan ilmu kelautan.

Seharusnya, provinsi-provinsi kepulauan memiliki strategi kebijakan bagaimana optimal mengelola sumberdaya lautnya, mengarahkan segala potensinya berorientasi laut. Persoalannya, sebagian besar masyarakat di provinsi-provinsi kepulauan tidak mengakrabi laut dan menganggap dirinya orang darat atau minimal orang pesisir, bukan orang laut.

“Orang Maluku itu orang pesisir. Orang laut itu orang Bugis, Makassar, Banjar, Madura. Mengapa? Pantai Maluku sedemikian kayanya, sehingga orang Maluku tak perlu jauh dari pantai untuk mencari hidup. Orang laut tentunya tidak punya lagu yang syairnya Ombak putih-putih ombak datang dari laut eh... (Lagu Ambon “Ombak Putih-Putih”). Yang nyanyi gitu cuma orang yang biasa jauh dari laut. Tadinya, orang Maluku pikir mereka orang laut,” ucapnya disambut gelak dan senyum anggota Komite II DPD.

Mengenai aspek peraturan, Sarwono mendukung pembentukan UU Kelautan. Hanya saja, ia mengingatkan agar isinya sesuai dengan semangat zaman. “Jika peran Komite II DPD dominan selama pembahasan RUU Kelautan bersama Komisi IV DPR maka semangat UU Kelautan desentralistis. “Cenderung begitu bagus untuk integritas wilayah kita,” ia menjelaskan. Tapi, jika yang dominan peran Komisi IV DPR maka ia khawatir semangat UU-nya sentralistis; jika peran Pemerintah dominan maka semangat UU-nya birokratis dan sektoral.

Aspek kelembagaan yang parah ialah koordinasi karena terlalu banyak instansi (kementerian/lembaga) yang terkait. Ia menekankan betapa kasus-kasus di perairan Indonesia harus cepat ditangani secara terkoordinasi. Contohnya, jika Kementerian Kelautan dan Perikanan mengetahui peta lokasi harta karun dalam kapal-kapal yang tenggelam maka izin mengangkatnya harus cepat-cepat dikeluarkan. Kalau terlalu lama dibiarkan, harta karun akan dicuri pihak-pihak tertentu. Jadi, kita tidak bisa menjaganya sekalipun berkoordinasi dengan instansi- instansi yang memiliki kewenangan di lautan.

Sarwono kelahiran Jakarta, 24 Juli 1943. Sarjana lulusan Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) (1974). Ia anggota DPD asal DKI Jakarta periode 2004-2009.

Sarwono Menteri Kelautan dan Perikanan semasa Kabinet Persatuan Nasional (1999-2001). Sebelumnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Sebelum menjabat menteri, periode 1971-1988, Sarwono anggota DPR dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golkar (1983-1988).

Semasih anggota DPD, tahun 2007 Sarwono melamar sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta masa jabatan 2007-2012 melalui PDI-Perjuangan. Peringkatnya teratas dibanding enam bakal calon gubernur yang diusung partai Megawati Soekarnoputri itu. Skornya 96, mengungguli Faisal Basri (95), Bibit Waluyo (91), Edy Waluyo (89), Agum Gumelar (85), dan Fauzi Bowo (80). Tapi, PDI-Perjuangan menetapkan Fauzi Bowo sebagai calonnya berkoalisi dengan sekitar 20 partai. Bang Foke memenangi pemilihan gubernur yang dipilih langsung rakyat untuk pertama kalinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline