Indonesia gagal memanfaatkan posisi strategis di antara dua samudera dan dua benua. Padahal, susah menemukan negara yang posisinya mirip Indonesia. Indonesia juga gagal menjaga sumberdaya (resources) lautnya yang besar, banyak, dan kaya. Berikutnya, kita gagal menjaga kelestariannya. Akhir-akhir ini, kita banyak merusak. Begitulah yang terjadi. Sejak zaman penjajahan sampai sekarang.
“Indonesia negara kelautan tapi belum memakmurkan rakyat,” ujar Hasjim Djalal saat rapat dengar pendapat (RDP) antara Komite II DPD dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja. RDP membahas Rancangan Undang-Undang Kelautan di lantai 3 Gedung B DPD, Senayan-Jakarta, Senin, (20/9/2010).
Untuk memanfaatkan kekayaan alam lautnya, sebagai negara kepulauan (archipelagic state) maka Indonesia harus mengekplorasi jenis, jumlah, eksploitabilitas dan komersiabilitasnya, serta program pemanfaatan bagi rakyat. “Secara yuridis Indonesia negara kepulauan, karena fisically terdiri atas unsur-unsur laut. Tapi, kita baru bercita-cita menjadi negara maritim, karena kita belum mampu menguasai laut dan belum mampu memanfaatkan laut. Negara maritim adalah negara yang kemampuannya menonjol untuk memanfaatkan laut.
“Banyak negara maritim yang tidak punya laut. Korea ndak ada lautnya, kasarnya. Belanda juga ndak ada lautnya. Tapi, Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, karena Belanda mampu memanfaatkan Samudera Pasifik, Samudera Atlantik, Samudera Hindia. Mudah-mudahan suatu ketika, negara kepulauan ini, negara kelautan ini, bisa menjadi negara maritim. Bagaimana menyejahterakan rakyat? Kita harus memanfaatkan kekayaan alam laut. Apa saja? Ruangnya, lautnya.”
Menurutnya, kita belum optimal memanfaatkan kekayaan ruang dan laut. Misalnya, minyak dan gas (taraf pemanfaatannya relatif intensif), perikanan (belum terperhatikan), perhubungan laut (memprihatikan), perhubungan udara (belum memadai), telekomunikasi (memadai), hard minerals (belum, kecuali timah di pantai Bangka, Belitung, Singkep), energi laut seperti ombak, arus pasang surut, suhu (belum), geothermal (belum, sedikit di darat), nodules, sulphide, methane hydrate (belum komersial), pertahanan/keamanan (rancu), pariwisata laut (berkembang), coastal zone management (semraut).
Sembari memanfaatkannya, kita harus memelihara lingkungan laut agar sustainable development. Contohnya, mencegah over fishing atau cara penangkapan ikan yang tidak sustainable (cyanide, peledak, listrik, IUU (illegal unregulated and unreported fishing); mencegah marine pollution di land-based, ship-based, seabed-based, offshore installations); mencegah kehancuran lingkugan laut (mangrove, spawning ground, terumbu karang, coastal zone).
Lebih 20-an isu kelautan
Sekarang saja, menurutnya, lebih 20-an isu kelautan yang sedang atau akan berkembang di dalam negeri dan luar negeri di kawasan regional dan internasional yang mempengaruhi pengelolaan laut Indonesia. “Munculnya sejak Konvensi Hukum Laut 1982. Isu-isu yang belum pernah kita dengar, termasuk ocean energy atau climate change and sea level rise.”
Isu-isu kelautan tersebut ialah aquaculture (marine culture), bioprospecting, climate change and sea level rise, valuation of coastal and ocean economics, co-management (baik antara pusat dan daerah maupun antar-stakeholders), extended continental shelf (di luar batas Zona Ekonomi Ekslusif/ZEE), integrated coastal and ocean management (ICOM), large marine ecosystem (LME), baik mencakup satu negara maupun beberapa negara; introduce marine pests (IMP), marine biotechnology, marine management education, marine protected areas, marine tourism, ocean energy, offshore installations and structures.
Kemudian, people smuggling (illegal immigrants), piracy and maritime terrorism, place of refuge, pollution from land-based activities, seabed mining, submarines cables and pipelines, unsustainable fisheries. Selain itu, strategi politik kelautan regional dan internasional seperti Cina dan India sebaga kekuatan maritim yang baru, Laut Cina Selatan, Selat Malaka-Singapura, Samudera Hindia, Samudera Pafisik, Laut Sulawesi, Laut Arafura, Laut Timor.
Lelaki kelahiran Ampek Angkek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Februari 1934, ini menjelaskan maritime zones Indonesia (terirorial dan resources zones) menjadi tiga kali luas daratan. Indonesia memerlukan kapasitas kelautan yang melindungi dan memanfaatkan ruang dan lautnya melalui kebijaksanaan yang berorientasi ke laut, baik perhatian maupun anggaran. Apalagi negara-negara tetangga, termasuk yang bersifat kontinental, telah mendahului Indonesia memanfaatkan laut (Australia, Thailand, Singapura, Cina, Taiwan, India, Korea Selatan, Jepang).
Indonesia, menurut suami Jurni Hasjim Djalal dan ayah tiga anak ini, memerlukan mekanisme administratif dan kelembagaan yang efektif dan efisien untuk menangani segala macam masalah kelautan, mengkoordinasikan berbagai kegiatan laut yang lintas sektoral, dan mengembangkan bentuk kerjasama, baik regional maupun internasional, baik resmi maupun tidak resmi (seperti non-governmental organitations, academic group).
Kekayaan alam laut terdiri atas hayati seperti perikanan tradisional, komersial, dan olahraga; nabati seperti migas (liquid minerals) dan nonmigas (hard minerals), lain-lain seperti tenaga alam (arus, gelombang, suhu, angin, geothermal); space (ruang) laut dan udara seperti pariwisata, perhubungan laut dan udara, sarana prasarana persatuan dan kesatuan negara, kekayaan alam dasar laut internasional seperti nodules (nikel, tembaga, cobalt, mangan) metal sulphide, metal crusts, dan methane hydrate; serta kekayaan lainnya seperti benda-benda berharga historis, arkeologis, harta karun; dan biodiversity.
Kewenangan dan hak-hak berdaulat Indonesia meliputi di zona tambahan (bea cukai/pabean, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi, penegakan hukum); di zona ekonomi eksklusif (kekayaan alam/perikanan, pemeliharaan lingkungan laut, penelitian laut, izin pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, ketentuan ‘surplus’ perikanan; dan di landas kontinen (hak atas kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya, ketentuan bagi hasil dengan international seabed authority mengenai eksploitasi landas kontinen di luar batas 200 mili garis pangkal).
Hasjim menjelaskan perbedaan istilah wilayah dan yurisdiksi. “Wilayah adalah teritori dan yurisdiksi adalah kewenangan. Di setiap wilayah ada yurisdiksi, tapi tidak di setiap yurisdiksi ada wilayah. Dalam konsep hukum laut, dua istilah ini berbeda pengertiannya.”
Diplomat senior
Hasjim dikenal sebagai diplomat senior dan tokoh hukum laut internasional. Ia berandil dalam mewujudkan pengakuan dunia atas Indonesia sebagai negara kepulauan, karenaberprofesi sebagai diplomat karier sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Hasjim meraih gelar Master of Arts (MA) (1959) dan Doctor of Philosophy (PhD) (1961) dari University of Virginia
Penulis buku Indonesian Struggle for the Law of the Sea (1979), Indonesia and the Law of the Sea (1995), dan Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003) ini Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1981-1983), Dubes di Kanada (1983-1985), Dubes di Jerman (1990-1993), dan Dubes Keliling hingga era pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie.
Setelah pensiun, 1994, ia masih aktif menulis buku dan artikel di berbagai media massa serta berbicara di berbagai forum tentang masalah hukum laut internasional. Pemikiran dan gagasannya dibutuhkan, sehingga ia dipercaya sebagai anggota Dewan Martim Indonesia (DMI), Penasihat Senior Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Penasihat Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut, serta bertugas di Kantor Menteri Percepatan Pembangunan Indonesia Timur.
Hasjim adalah ayah Iwan Djalal, eksekutif perusahaan swasta; Dino Pati Djalal, mantan Juru Bicara Luar Negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kini Dubes di Washington DC, mantan Direktur Urusan Amerika Utara dan Tengah Kementerian Luar Negeri; dan Dini Djalal, wartawan yang tinggal di Amerika. Di masa tuanya, ia aktif sebagai anggota Komisi Konstitusi (KK) yang mengkaji amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H