Lihat ke Halaman Asli

M Ryaas Rasyid: “Betapa Konyol Meletakkan di Kabupaten/Kota, yang Saya Sendiri Menentangnya Dulu”

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain memperjelas dan mempertegas tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Mendagri Otda) Muhammad Ryaas Rasyid mengusulkan agar Undang-Undang Pemerintahan Daerah menentukan titik berat otonomi di provinsi agar posisi otonomi kabupaten/kota di bawah otonomi provinsi. Titik berat otonomi di provinsi memudahkan konsolidasi sumberdaya, koordinasi pemerintahan, serta efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan.

“Solusinya adalah letakkan otonomi di provinsi. Betapa konyol meletakkan di kabupaten/kota, yang saya sendiri menentangnya dulu. Saya ngotot dulu,” ujarnya saat Perspektif Indonesia “Quo Vadis Peran Gubernur dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah” di Pressroom Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/5). Narasumber lainnya adalah guru besar ilmu administrasi negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bhenyamin Hoessein, anggota DPD asal DKI Jakarta Andi Mapetahang (AM) Fatwa, dan staf ahli bidang pemerintahan Gubernur Banten Kurdi Matin.

Mantan Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) ini menyatakan, “Sebenarnya saya mau meletakkan otonomi di provinsi tapi Amien Rais cs berkampanye federalisme waktu itu. Untuk menghindari kecurigaan saya menjadi agen Amien cs, saya tidak mau titik berat otonomi di provinsi. Meletakkan otonomi di provinsi mengarah ke federalisme. Itu alasannya, antara lain.”

“Tapi kampanye Amien cs disambut ramai di beberapa provinsi. Ada sambutan di kampus-kampus waktu itu bahwa federalisme adalah solusi. Waktu itu, kita memang mencari bentuk, tidak mungkin meneruskan sistem pemerintahan daerah Pak Harto (Soeharto) dalam UU 5/1974. Saya ketua tim pemerintah, di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saya jelaskan bahwa otonomi diletakkan di kabupaten/kota. Saya cari alasan macam-macam. Intinya, agar pelayanan lebih dekat kepada pihak yang dilayani. Tapi saya katakan, otonomi 10 tahun lagi kita review. Sekarang, situasinya sudah lain. Setelah 10 tahun, alhamdulillah, kita masih hidup. Marilah kita review.”

“Kalau tidak, kita ribut-ribut lagi. Kita ribut-ribut karena diberitakan 6.000 izin tambang tumpang tindih. Izin tambang diberikan kepada pemerintah kabupaten walaupun izin tambang sudah diberikan pemerintah di atasnya. Kan kacau. Kalau masalah pertambangan jangan hanya mengandalkan dokumen tanpa peninjauan lapangan. Begitu mau realisasi, eh ada izin lain di lokasi yang sama. Belum lagi izin tambang di hutan lindung atau hutan produksi.”

Maka, kalau otonomi direformulasi seiring pengembalian titik berat otonomi di provinsi maka akan ada urusan pusat dilimpahkan ke provinsi dan ada urusan kabupaten/kota yang dikembalikan ke provinsi. “Kita harus jelas dan tegas menyebut titik berat otonomi di provinsi, supaya bupati/walikota satu komando dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sekarang mereka mau jalan sendiri-sendiri.”

Ryaas, juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang pemerintahan dan reformasi birokrasi sejak tanggal 25 Januari 2010, ini menyatakan setuju jika UU Pemerintahan Daerah memperkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. “Perkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat; tidak dengan PP (Peraturan Pemerintah), tapi dengan UU. Bisa saja kita kembali ke konsep gubernur dan bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat.”

Asalkan, gubernur dan bupati/walikota sebagai wakil pemerintah pusat tidak disebut sebagai penguasa tunggal di wilayahnya. “UU 22/1999 tidak menggunakan istilah wakil pemerintah pusat. Mengapa? Wakil pemerintah pusat, istilah UU 5/1974, selalu diikuti kalimat ‘penguasa tunggal’. Saya tidak mau ada wakil pemerintah pusat karena eksesnya buruk.”

“Dulu Jakarta yang menentukan siapa kepala daerah. Dirjen PUOD paling berkuasa di dunia karena menentukan siapa bupati/walikota. Bayangkan saja, mereka memilih wakil pemerintah pusat yang berbeda dengan hasil pemilihan DPRD. Misalnya, Jakarta menentukan calon nomor dua atau nomor tiga atau pusat meminta DPRD mengulangi pemilihan karena salah skenario,” ujar mantan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (Dirjen PUOD) ini.

Sesunggguhnya, gubernur dan bupati/walikota otomatis berperan ganda sebagai kepala daerah otonom dan sebagai kepala wilayah administrasi (wakil pemerintah pusat di daerah). “Semua pemerintah daerah di wilayah nasional otomatis menjadi wakil pemerintah pusat tanpa harus menyebutnya dalam UU. Setiap kepala daerah otomatis menjadi wakil pemerintah pusat di seluruh pemerintahan lokal di bawah pemerintahan nasional. Mereka satu kesatuan pemerintahan. Mereka melaksanakan undang-undang, instruksi presiden, dan seterusnya. Sama, dari atas ke bawah.”

Menurutnya, UU Pemerintahan Daerah bisa saja kembali ke konsep fused model yang menjadikan gubernur dan bupati/walikota berperan ganda, yaitu bertindak selaku kepala daerah sekaligus kepala wilayah. Hanya saja, aturannya harus jelas dan tegas membedakan tugas dan wewenang gubernur serta bupati/walikota sebagai kepala daerah dan sebagai kepala wilayah. “Bikin daftarnya yang detil, apa kewenangan mereka sebagai wakil pemerintah pusat dan apa kewenangan mereka sebagai kepala daerah.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline