Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan pandangan DPD terhadap Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). DPD menganggap banyak materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). DPD juga menganggap banyak substansinya yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Kami mengharapkan Saudara Presiden memperhatikan sungguh-sungguh substansi dan materi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD karena banyak yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan putusan MK perkara nomor 92/PUU-X/2012 serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN,” begitu surat Ketua DPD kepada Presiden yang dilayangkan hari Senin (4/8/2014). Dalam surat bernomor HM.310/398/DPD/VII/2014 dan bertanggal 5 Agustus 2014 itu, harapan DPD kepada Presiden agar memperhatikan sungguh-sungguh materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU itu sebelum pengesahan (penandatanganan).
Setelah tercapai kesepakatan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti DPR dan Pemerintah memberikan persetujuan RUU menjadi UU. Selanjutnya UU disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara agar Presiden mengesahkan (menandatangani) UU itu. UU pun berlaku pada saat disahkan di Jakarta oleh Presiden dan diundang-undangkan di Jakarta pada saat yang sama oleh Menteri Negara Sekretaris Negara. Agar setiap orang mengetahuinya, Presiden memerintahkan pengundang-undangannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia sebagai undang-undang yang memiliki tahun dan nomor.
UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPR dan Pemerintah mencapai kesepakatan bersama. Tanggal 8 Juli 2014, Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tersebut menjadi undang-undang.
Materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan putusan MK perkara nomor 92/PUU-X/2012 menyangkut kedudukan dan peran DPD. Ketidaktaatan penyusun UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD kepada putusan MK itu merupakan pengingkaran UUD 1945, dan perkembangan ini adalah langkah mundur reformasi.
Disebut pengingkaran karena putusan MK menyatakan beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 tapi justru terakomodir dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. “Atau, beberapa ketentuan yang seharusnya dimuat justru tidak dimuat dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD,” surat Ketua DPD menyatakannya.
Dalam perspektif hubungan antarlembaga perwakilan, beberapa ketentuan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang bermasalah seperti pengaturan diskriminatif antara DPR dan DPD, yaitu DPR tidak membahas dan menindaklanjuti pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK, serta perbedaan nama alat kelengkapan Mahkamah Kehormatan di DPR dan Badan Kehormatan di DPD.
Ketentuan lain yang bermasalah ialah kedudukan dan peran lembaga perwakilan, yaitu menyejajarkan DPD dengan alat kelengkapan DPR karena penyusun UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD beralasan DPD menyampaikan pertimbangannya atas RUU ke alat kelengkapan DPR, seharusnya DPD menyampaikannya ke forum pembahasan RUU dengan DPR dan Presiden. Berikutnya DPR tidak membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan DPD atas pelaksanaan UU, seharusnya DPR melakukannya sebagai manifestasi checks and balances.
Sedangkan materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang banyak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti penghapusan bagian penyidikian untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota; penghapusan ketentuan pejabat yang disandera habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum; penghapusan kewajiban DPR untuk melaporkan pengelolaan keuangan negara kepada publik dalam laporan kinerja tahunan; memindahkan fungsi Badan Anggaran (Banggar) DPR ke alat kelengkapan yang lain (komisi) kendati MK memutuskan agar Banggar DPR tidak membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak; akuntabilitas anggota DPD; penghapusan larangan memberikan gratifikasi kepada anggota DPR, serta penutupan peluang masyarakat untuk mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan (BK) DPR.
RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 adalah rumusan Panitia Kerja (Panja) RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Tanggal 24 September 2013, Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR menerima laporan Panja RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Berikutnya tanggal 28 Januari 2014, Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU itu sebagai usul inisiatif dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
RUU Perubahan Atas UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditargetkan selesai sebelum pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2014-2019 tanggal 1 Oktober 2014. Pimpinan DPD sempat menyurati pimpinan DPR melalui surat nomor HM.310/358/DPD/VII/2014 tanggal 8 Juli 2014 perihal pandangan dan usulan DPD terhadap RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, namun pimpinan DPR tidak merespon hingga saat pengesahannya. Namun, Rapat Paripurna DPR tanggal 8 Juli 2014 mengesahkan RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H