Lihat ke Halaman Asli

IMRON SUPRIYADI

Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Sinetron (Islami?) dan Pendangkalan Tauhid

Diperbarui: 2 Juni 2020   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : 99.co

Oleh Imron Supriyadi 

Suatu ketika, Mirza seorang bocah berumur 6 tahun tiba-tiba menerobos kerumunan sebagian jamaah di sebuah masjid yang hendak menyalami Ustadz Muis Zakaria, yang baru  selesai ceramah. Tanpa mengalami kesulitan, Mirza berhasil menyalami Ustadz Muis. Tetapi karena tangannya tidak dilepaskan, kontan saja Ustadz Muis heran. Dia hanya tersenyum dan mengelus kepala Mirza.

"Pak Ustadz, boleh saya minta tasbih yang ustdaz pakai?", Tanya Mirza yang membuat kaget para jamaah. Ustadz Muis tersenyum dan berkata,

"Boleh. Tapi untuk apa?" selidik Ustadz Muis.

"Supaya kebal dan dapat mengusir syetan seperti di tivi itu Pak".

**

Fragmen diatas, bukan sekedar pepesan kosong. Sebab bukan tidak mungkin, besok, lusa atau bahkan bulan depan, salah satu putra-putri kita tiba-tiba minta dibelikan tasbih atau sorban, hanya lantaran ingin kebal dan mengusir syetan sebagaimana yang ditonton di televisi. Seorang Mirza adalah salah satu dari sekian juta anak bangsa ini yang telah menjadi korban pendangkalan tauhid yang telah "diajarkan" televisi melalui tayangan sinetron, yang konon menurut beberapa pihak disebut sebagai sinetron Islami. 

Di satu sisi, mungkin kita patut bersyukur karena diantara sekian banyak tayangan sinetron yang menawarkan hedonisme, konsumtifisme dan materialisme, masih ada diantara sineas kita yang berupaya melakukan counter budaya melalui garapan sinetron (islami?). Tetapi di sisi lain, berbagai bentuk tayangan yang disebut-sebut sebagai  tayangan sinetron islami ini, justeru menghasilkan produk yang jauh dari tujuan semula.

Sinetron (islami?) yang seharusnya memberikan "petuah" terhadap nilai-nilai tauhid, justeru berbalik melakukan proses pendangkalan ke-tauhidan dan aqidah itu sendiri. Nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan) dan keyakinan (aqidah) yang seharusnya dikedepankan, malah diporakporandakan dengan berbagai bentuk adegan mistik dan klenik. Belum lagi, sosok ustadz, kiai dan tokoh agama disimbolkan dengan sorban, peci, atau yang perempuan dengan jilbab dan cadar.  Saya tidak sedang mendebatkan soal peci, sarung, sorban dan jilbab. Tetapi ketika ajaran Islam hanya dipahami secara parsial dan terpenggal-penggal, maka yang muncul kemudian adalah; Islam selalu identik dengan sorban, jenggot, peci dan sejenisnya.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline