Lihat ke Halaman Asli

Jebakan (Bukan) Betmen Jokowi

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah mengapa di sebuah stasiun televisi ada acara yang namanya Jebakan Betmen. Di acara yang secara tidak sengaja saya tonton -karena menonton saat bertamu ke rumah teman- seorang tokoh dijebak oleh sebuah skenario tertentu. Saya tertarik untuk meminjam (tapi tanpa ijin) judul itu untuk mengistilahkan terhadap apa yang dilakukan (orang-orang) PDI Perjuangan terhadap Walikota Solo, Joko Widodo.

Sedari awal, saya sudah curiga dengan pemberian wild card kepada Jokowi untuk mengikuti fit and propertest calon Gubernur DKI Jakarta yang dilakukan partai tersebut. Jokowi tak pernah mendaftarkan diri saat PDIP melakukan penjaringan bakal calon. Namun tiba-tiba saja, hanya dalam hitungan jam menjelang pelaksanakan uji kelayakan, Jokowi ditelpon diminta hadir di acara itu.

Dari lima orang yang diundang, hanya dua orang yang datang. Selain Jokowi, Nono Sampurno yang memang mendaftarkan diri sebagai calon gubernur menjalani fit and propertest. Belakangan Nono putar haluan pindah gerbong meski turun kelas hanya menjadi calon wakil gubernur. Nono tak mau seperti pepatah orang Jawa "golek uceng kelangan delek." Lebih baik dicalonkan sebagai orang kedua tetapi sudah pasti daripada berharap menjadi calon gubernur tetapi belum pasti.

Hengkangnya Nono, bagi banyak orang dianggap membuka kans kian lebar bagi Jokowi menuju Pilgub DKI. Sepintas sih begitu tetapi menurutku sebaliknya. Ketika Jokowi menjadi satu-satunya orang yang tersisa sebagai calon Gubernur DKI, "skenario" jika PDIP sebenarnya tidak serius mengusung Jokowi kian kelihatan.

Menurut saya, jika partai itu serius hendak mencalonkan kader terbaiknya, sementara kursi yang dimiliki tidak cukup maka PDIP sejak awal -ketika pertama kali mereka berpikiran untuk mencalonkan kadernya sendiri- harusnya sudah melakukan komunikasi politik dengan partai lain. Sebaliknya yang dilakukan PDIP adalah membuka loket pendaftaran tanpa ada kejelasan dengan siapa akan berkoalisi setelah partai ini memiliki jago. Bahkan ketika Gerindra, yang kursinya cukup untuk menutup kekurangan PDIP bersedia mendukung Jokowi, responnya justru gamang dan membuka peluang untuk menjadi orang keduanya bakal calon incumbent.

PDIP, seperti halnya partai lain, menurut saya masih berpegang pada adigium "lebih baik mendukung calon yang sudah pasti menang" daripada bertarung dan kalah. Pilkada membutuhkan biaya yang tidak kecil. Jokowi bukan tipe -apalagi memang tidak memiliki kekayaan yang melimpah- politisi yang jor-joran keluarin duit untuk kampanye. Menyorongkan Jokowi ke bursa pemilihan, sementara hitung-hitungannya tidak masuk, berarti hanya akan buang-buang uang saja.

Realitas politik itu jelas dibaca Jokowi. Tetapi sebagai kader partai -Jokowi adalah salah satu wakil ketua DPD PDIP Jawa Tengah-, Jokowi tak mau mengabaikan perintah (orang) partai itu. Dia ngikut saja dengan proses politik yang disiapkan partainya. Langkah mengikuti fit and propertest seharusnya dibaca demikian, bukan karena Jokowi sekadar ambisi ingin mengejar kursi Gubernur DKI.

Banyak orang yang menerka kebijakan-kebijakan populis Jokowi di Solo kemudian juga kampanye gila-gilaan mobil Esemka merupakan pencitraan politis. Tidak salah jika penilaian itu menggunakan kacamata politik yang menurutku sudah tidak sehat. Tidak sehat karena selalu mengedepankan apriori "ini pencitraan", "itu kampanye politik" dan sebagainya. Padahal, jika menggunakan akal sehat dan logika yang jauh dari kecurigaan, kebijakan populis Jokowi ya memang harus demikian adanya sebagai pemegang kuasa.

Lantas di mana "jebakan betmen" PDIP untuk memerangkap Jokowi seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini? Popularitas Jokowi memang menasional, tetapi hampir bisa dipastikan paling populer di Jawa Tengah. Beberapa survei menyebutkan Jokowi jika head to head dengan Bibit Waluyo -Gubernur Jawa Tengah- dalam Pilgub Jateng 2013 bakal unggul walau tipis.

Nah, di sinilah "jebakan" itu dipasang. Saya menduga, ada pihak yang tidak rela jika Jokowi yang bakal diusung menjadi calon Gubernur Jawa Tengah tahun depan. Bibit kah yang selama ini dikesankan sebagai seteru Jokowi? Bukan, karena Bibit besar kemungkinan pindah kendaraan. Menurut saya yang paling khawatir justru adalah orang separtai Jokowi sendiri.

Mengapa sesama orang partai justru tidak suka jika kader partai yang dicalonkan dan memiliki kans menang? Sederhana jawabannya, kalau bukan karena yang bersangkutan ingin yang dicalonkan ya karena tidak bisa menawarkan "tiket" ke politisi pemburu rente. Jika Jokowi tetap berkibar seperti sekarang, hampir bisa dipastikan PDIP harus mencalonkannya dalam Pilgub Jawa Tengah. Itu artinya, kesempatan untuk jualan "tiket" lenyap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline