Umat islam itu mudah diatur. Tenang saja. Kita memang dianjurkan untuk taat kepada pemimpin. Kita pasti legowo kalau disuruh sholat idul fitri di rumah. 10 minggu sejak pasien pertama diumumkan, kita sudah ikuti semua himbauan pemerintah. Termasuk didalamnya melaksanakan aktivitas ibadah di rumah. Beda pandang soal anjuran sholat berjamaah itu memang sempat ada, tapi toh secara umum masyarakat tetap mematuhi.
Yang membuat kebanyakan kita agak tersinggung itu adalah, karena pemerintah terkesan tidak tegas. Disisi lain tempat ibadah ditutup, masyarakat dilarang berkerumun, dilarang mudik, disuruh diam di rumah, pake masker, social distancing, dan mematuhi segala protokol Covid-19, tapi pada saat yang bersamaan, mall-mall, pusat perbelanjaan, serta pusat keramaian lain masih tetap dibuka.
Maksud saya, kalau memang pemerintah serius mau melawan Corona, jangan buat aturan itu abu-abu. Jangan multi tafsir. Kasian juga para pejabat di level daerah kelabakan menerjemahkannya. Misalnya: ada daerah yang membolehkan sholat eid di masjid seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada juga daerah yang tidak membolehkan.
Masyarakat kemudian bertanya: kenapa daerah A boleh, kenapa daerah B tidak boleh. Jawabannya tentu bisa beragam. Kita bisa saja mengatakan bahwa tingkat penyebaran Covid-19 di dua daerah ini berbeda. Daerah A dibolehkan karena tingkat penyebarannya tergolong rendah atau bisa dikategorikan sebagai daerah zona hijau, sedang daerah B termasuk zona merah.
Pertanyaan selanjutnya adalah: mana daerah yang disebut zona merah dan mana yang disebut zona hijau. Apa ukurannya. Pada skala mana zona itu berlaku. Apakah pada skala dusun, desa, kabupaten, atau provinsi. Siapa pula yang punya kewenangan untuk menentukannya. Apa konsekuensi bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Dan masih banyak lagi.
Bayangkan saja, ditengah kampanye perlawanan terhadap Covid-19 yang sedemikian massif, para pejabat malah seenaknya menggelar konser, tampil di depan kamera dengan mengabaikan protokol Covid-19, tanpa masker, tanpa jaga jarak. Parahnya lagi, masih berani pula mereka menghimbau untuk tetap patuh pada anjuran pemerintah.
Ini sama parahnya dengan kita menceritakan tentang keutamaan berpuasa di bulan ramadhan, sementara kita sendiri tidak berpuasa. Menyuruh orang lain untuk taat beribadah, sedang kita sendiri mengabaikan kewajiban itu. Bingung-bingung ku memikirkan.
Inilah anomali yang kita hadapi sekarang. Pemerintah katanya sudah siap menyongsong era Normal Baru, menyeru untuk berdamai dengan virus, bahkan sempat muncul wacana relaksasi PSBB. Padahal, sebagaimana data yang beredar, curva Covid kita masih fluktuatif. Belum bisa dikendalikan.
Mari lihat contoh kasus di daerah kita NTB. Belakangan, trend kesembuhan pasien Corona di NTB cukup menggembirakan. Bahkan disebut-disebut telah melampaui angka nasional. Dalam satu media, Wakil Gubernur NTB, Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalillah mengatakan NTB berada di posisi kedua sebagai daerah dengan angka kesembuhan terbaik di Indonesia.
Saya sendiri sangat senang membaca kabar tersebut saat itu. Tentu dengan semakin banyaknya pasien yang sembuh, juga klaster-klaster penyebaran yang telah berhasil diidentifikasi, kita semua berharap tidak ada lagi kasus baru. NTB kemudian segera ditetapkan sebagai zona hijau, lalu masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa.