Lihat ke Halaman Asli

Imron Mahmud

Muballigh dan guru

Lost Generation Pasca Pandemi Covid-19

Diperbarui: 25 Oktober 2020   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kulihat istriku uring-uringan. Mungkin ia kesal. tugas-tugas yang diberikan oleh sekolah untuk Syamil anakku benar-benar membuatnya uring-uringan. Bukan karena tugasnya yang susah, melainkan anaknya yang nggak mau mengerjakan tugas. Ngambek.

Aku nggak mau ikut-ikutan. Dan juga nggak mau ikut istriku uring-uringan. Aku paham apa yang dialami anakku Syamil yang sekarang duduk di kelas 4 SD. Dengan tugas yang begitu bejibun, ia dipaksa duduk mengerjakan tugas atau ‘ndoprok’ di depan komputer untuk mengikuti belajar online via Zoom sambil mendengarkan gurunya berceramah, nge’cuprus istilahnya.

Aku lihat anakku sering nggak nyaman dengan kondisi yang ada. Terkadang ia tampak tantrum, marah ngomeng nggak karuan. Ia stres. Semua itu dia ekspresikan dengan mengambek. Nggak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya.

Betapa model pembelajaran di era pandemi seperti ini memunculkan dilema baru bagi banyak pihak. Bagi sekolah iya. Bagi orang tua iya. Bagi anak didik juga iya.

Belajar di rumah bagi anak-anak bukan lagi hal yang mengasyikkan. Kalau ternyata satu atau dua hari mungkin tidak masalah, asyik saja. Ini sudah lebih dari satu semester. Bahkan hampir satu tahun. Bosan dan membosankan.

Di rumah anak-anak bukannya bertambah baik. Tetapi malah kehilangan produktifitas. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, habis untuk bermain, nge-game, ke warnet, PS dan lain sebagainya.

Orang tua juga rupanya mulai kewalahan menemani anak-anaknya belajar di rumah. Ibu yang sudah capek mengurusi pekerjaan rumah harus pula menemani anak-anaknya belajar di rumah. Kaum bapak nggak usah ditanya :D Mereka lebih memilih sibuk bekerja dari pada menemani anak-anaknya belajar di rumah. Nggak semua seperti itu memang Karena juga waktu mereka bersama keluarga sangat terbatas di rumah.

Para pakar pendidikan dan juga para psikolog mulai mengkhawatirkan. Bila kondisi seperti ini terus berlanjut nggak ada kejelasan, maka akan mengakibatkan lost generation jilid dua. Lost generastion jilid satu katanya terjadi setelah perang dunia yang pertama. Lost Generation berikutnya terjadi setelah perang melawan Corona. Wallah a’lam. Semoga tidak seperti itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline