Dulu menjelang reformasi 1998 pecah dan demo-demo sporadis menentang Orde Baru dan Soeharto marak, Universitas Andalas di Padang pernah menerima kiriman pakaian dalam wanita berupa celana dalam dan bra, karena dianggap pengecut dan tak pernah menunjukkan ketidaksukaan mereka pada rezim Soeharto yang dinilai korup dan sarat nuansa KKN.
Tahun 2014, dalam pilpres, 76% orang minang (Sumbar) memilih Prabowo yang notabene adalah anak kandung Orde Baru dan kini disokong mantan istrinya Titiek Soeharto bersama mantan iparnya Tommy Soeharto dengan Partai Berkaryanya untuk kembali mengulang 'kejayaan' Orde Baru, terutama dalam hal ketahanan pangan. Menurut Titiek Indonesia pernah mengalami swasembada pangan tanpa impor tahun 1985, sesuatu yang belum bisa diwujudkan Jokowi sesuai janji. Prabowo, kata Titiek, akan mengembalikan kejayaan Indonesia itu kalau terpilih.
Sola ketahanan pangan 1985 ini benar adanya, tapi tak ada yang perlu dibanggakan, karena modelnya yang kaya tanam paksa di masa kolonial Belanda. Petani dipaksa menanam sesuai waktu yang digariskan pemerintah pusat, hanya boleh memakai benih tertentu, harus pakai pupuk dan pestisida tertentu dan jangan coba-coba menggunakan pola tanam organik, apalagi bibit, pupuk dan pestisisa organik, yang semua hak impornya ada pada tangan keluarga Cendana dan para kroninya.
Di pihak lain, memang tak ada yang layak dibanggakan dari swasembada pangan era Soeharto ini, karena dicapainya baru setelah 18 tahun berkuasa. Itupun segera kembali impor lagi, bahkan menurut Faisal Basri, ekonom terkemuka Indonesia impor beras tergolong paling parah di era Soeharto dan SBY. Seperti saya kutip dari tulisannya Impor Beras Sejak Orde Baru Soeharto Hingga Kini. Sumber: https://faisalbasri.com/2018/11/19/impor-beras-sejak-orde-baru-soeharto-hingga-kini/
Namun, tidak benar kalau ada yang mengatakan selama masa Orde Baru Soeharto lebih baik. Memang, Presiden Soeharto pernah memperoleh penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO), lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 14 November 1985. Sekretaris Jenderal FAO, DR Edward Samoa memberikan penghargaan atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan, khususnya swasembada beras.
Indonesia sempat tidak mengimpor beras sama sekali pada tahun 1985-1986. Pada tahun itu bahkan Indonesia mengekspor beras masing-masing 106 ribu ton pada tahun 1985 dan 231 ribu ton tahun 1986. Setahun kemudian ekspor beras mencapai jumlah tertinggi yakni 231 ribu ton. Setelah ini ekspor meredup, tidak pernah lagi di atas 100 ribu ton. Ekspor tertinggi di masa Presiden Jokowi terjadi tahun 2017, itu pun hanya 3,5 ribu ton. Sampai September 2018 tercatat 3,2 ribu ton.
Keberhasilan menekan impor beras pada Era Soeharto berlangsung tidak sampai 10 tahun. Di masa itu pun Indonesia beberapa tahun mengimpor ratusan ribu ton Pada tahun 1995 dan 1996 impor beras kembali melonjak tajam menjadi masing-masing 1,3 juta ton dan 2,0 juta ton. Setahun kemudian nyaris tak mengimpor, tetapi pada 1998 ketika Presiden Soeharto "lengser" impor mencapai rekor tertinggi, yaitu 2,8 juta ton. Itulah salah satu warisan terakhir Soeharto, selain tentu saja krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah Indonesia..
Jadi jelas Titiek cuma berbohong saja, samalah dengan mantan suaminya yang sudah lebih dulu terkenal sebagai pembohong.
Kembali ke orang Minang dan Orde Baru. Tahun 2019 Indonesia akan kembali menyelenggarakan Pilpres. Kandidatnya sama, yaitu Jokowi dan Prabowo.
Di Sumatera Barat kembali marak dukungan terhadap Prabowo, bahkan di posisi puncak Gerindra, partai pengusung Prabowo, 3 orang Minang bercokol menjadi lokomotif yakni Fadli Zon, Andre Rosiade dan Faldo Maldini. Namun ada yang berubah, pendukung Jokowi mulai banyak menunjukkan hidung.
Mulai dari 12 kepala daerah yang jelas-jelas menyatakan dukungan kepada Jopkowi, yakni Bupati Dharmasraya Sutan Riska, Bupati Pesisir Selatan Hendra Joni, Walikota dan Bupati Solok Zul Elfian dan Gusmal, Bupati Sijunjung Yuswir Arifin, Bupati 50 Kota Irfendi Arbi, Bupati Pasaman Yusuf Lubis, Bupati Tanah Datar Irdinansyah Tarmizi, Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabagalet, Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias, Walikota Padangpanjang Fadly Amran dan Walikota Pariaman Genius Umar, sampai ke kelompok-kelompok masyarakat seperti Projo dan lainnya.
Mereka kini tak canggung-canggung meng-upload dukungan mereka di media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram dll. Namun suara pendukung Prabowo masih lantang terdengar, Dengan ikut kampanye #2019GantiPresiden aksi reuni 212, promosi 3T dan lain-lain sebagainya.