Tanah Abang bermula dari daerah pertanian, perkebunan dan pelesiran yang alamiah...
Pesta rumahan sering diselenggarakan orang Belanda di Tanah Abang. Tahun 1793 Lord George Mac Cartney yang sedang dalam perjalanan menuju tempat tugasnya sebagai Duta Besar Inggris untuk China sempat singgah di Batavia. Di Batavia dia dijamu Wiegerman, salah satu anggota Dewan Belanda di villanya di Tanah Abang. Mac Cartney mencatat dalam jurnalnya--yang kemudian ditulis ulang oleh Junus Nur Arif dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe--tentang mewahnya jamuan itu. Anggur Madera (Madeira)—anggur terkenal dari Portugis tak henti dituang ke gelasnya, suasana pesta tambah meriah dengan pertunjukan wayang China dan atraksi kembang api, serta tentu saja dansa-dansi sampai pagi. Mac Cartney yang datang dengan Kapal Lion tak henti-hentinya memuji perjamuan tersebut, dia menulis bagaimana dia disambut meriah oleh pejabat Belanda dan pengusaha Tionghoa sejak kapalnya merapat di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Makin banyaknya sayur dan palawija yang keluar dari Tanah Abang mendorong Justinus Vinks, anggota Dewan Belanda dan salah satu tuan tanah di Tanah Abang yang telah sukses membangun Veltervreden (Pasar Senen) untuk membangun pasar pula di Tanah Abang. Dia minta izin ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang waktu itu dijabat Abraham Patras (1635 – 1637). Patras mengizinkannya tapi pasar itu hanya boleh dibuka pada hari Sabtu sehingga kemudian dikenal dengan nama Pasar Sabtu. Syarat lainnya dari gubernur jenderal kelahiran Perancis ini pasar tersebut hanya boleh memperjualbelikan barang-barang kelontong dan produk tekstil. Pasar ini sangat sederhana hanya berupa dinding dari anyaman bambu (gedeg, bilik) terbuka beratap rumbia atau nipah.
Pasar mingguan itu berkembang baik, peranan Kali Krukut pun bertambah, tidak lagi menjadi sekedar tempat mandi-mandi atau menangkap ikan warga Batavia, tetapi juga mulai padat dengan lalu-lintas perdagangan sayur-mayur, palawija, barang-barang kelontong dan produk tekstil dari dan keluar Tanah Abang. Pemukim baru pun mulai meramaikan kawasan ini, baik sebagai buruh tani di lahan pertanian dan perkebunan maupun sebagai pedagang atau orang yang mencari peluang usaha baru.
Pada perkembangan selanjutnya dibangun jalan yang menghubungkan Pasar Senen dengan Pasar Tanah Abang, jalan itu kini dikenal sebagai Jl. K.H. Wahid Hasyim, yang memanjang dari timur ke barat, dari Blok A Pusat Grosir Tanah Abang melewati Tugu Tani di depan gedung Lembaga Manajemen PPM, Menteng dan berakhir di depan Bioskop Mulia Agung, Senen.
Tentang nama Tanah Abang sendiri ada tiga versi yang masih diperdebatkan hingga kini. Versi pertama muncul karena pasukan Kerajaan Mataram yang bermarkas di sini saat menyerbu Batavia tahun 1628 menyebutnya begitu.
Tanah Abang atau Tanah Merah, mengingat tanah perbukitan di kawasan itu berwarna merah. Sampai tahun 1970-an tanah merah tersebut masih bisa ditemukan dalam bentuk lapangan bola di sekitar Thamrin City sekarang.
Versi kedua nama Tanah Abang berasal dari banyaknya pohon nabang, sejenis pohon berbuah kecil yang saripatinya sering digunakan untuk campuran sambal atau ulekan bumbu masakan. Orang Belanda menyebutnya De Nabang, namun lidah Betawi setempat mengubahnya jadi Tenabang. Sampai tahun 1960-an masih ada oplet yang memajang tulisan Tenabang di kaca atau bodynya.
Terakhir, nama Tanah Abang diduga berasal dari kisah kebaikan hati seorang abang pada adiknya. Si Abang memberi adiknya yang miskin sebidang tanah yang kemudian berkembang menjadi kawasan Tanah Abang sekarang. Mana yang benar, Wallahulam.[caption caption="Pemandangan sebuah kali yang jernih dan bersih di Tanah Abang"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H