Memasuki Pusat Grosir Tekstil dan Garmen Tanah Abang di bulan Februari 2013 tidaklah mudah, perlu perjuangan keras untuk melewati satu ruas jalan saja, misalnya Jalan Kebon Jati yang dipenuhi lapak PKL dan area parkir liar...
Saya tak perlu mengingatkan tentang copet, itu aikon Tanah Abang yang sudah sangat dikenal sejak lama. Di kepadatan kaki lima Tanah Abang mereka bisa berupa siapa saja. Salesman berkemeja rapi dengan celana kasual trendy dan tas Echolac terbaru, atau seperti mahasiswa dengan kaos dan kemeja dengan ransel di punggung, atau bapak-bapak yang ramah atau ibu-ibu dan wanita berjilbab. Mereka berkamuflase dengan baik, dengan simbol-simbol kesopanan dan peradaban terbaik, lalu dengan aman memainkan jemari atau siletnya di kantong-kantong, tas atau dompet mangsa yang merasa aman di dekatnya.
Saking topnya kawasan Tanah Abang sebagai lokasi rawan copet ada anekdot yang mengisahkan tiga kepala negara yang kebetulan satu pesawat menuju sebuah event internasional. Ketika lewat di wilayah udara tertentu, Presiden Perancis berkata dengan bangga,"Kita sedang melewati wilayah udara kami," "Dari mana Anda tahu? Kita kan terbang tinggi sekali?" Tanya teman seperjalanannya Presiden AS dan Indonesia. "Saya bisa melihat sinar matahari yang dipantulkan oleh Menara Eifel," katanya dengan hidung mengembang.
Presiden AS tak mau kalah. Saat pesawat melewati wilayah udara lainnya dia berkata," Kita sedang berada di atas negara saya." "Bagaimana Anda tahu?" gugat kedua presiden lainnya. "Saya bisa mengenali gemerlap lampu-lampu Las Vegas dari sini," katanya bangga.
Presiden Indonesia terdiam lama, tapi kemudian saat berada di wilayah udara selanjutnya dia berkata dengan jumawa, " Saat ini kita pasti sedang berada di tanah air saya." Presiden AS dan Perancis melihatnya dengan pandangan mengejek. "Dari mana Anda tahu?" Presiden Indonesia menjawab, "Anda lihat tangan saya?" Mereka melihat ke tangannya. "Arloji saya sudah tak ada, seseorang baru saja mencopetnya, jadi bisa saya pastikan kita sedang berada di atas Pasar Tanah Abang, pasar terbesar di negara saya."
Begitulah, Kembali ke pengarungan. Rasanya lama sekali pengarungan di lautan kepadatan itu. Keringat telah membanjir, membasahi punggung, leher dan wajah sebelum akhirnya saya sampai di markas brandweer atau pemadam kebakaran Tanah Abang. Markas yang terjepit ketat oleh lapak PKL itu tampak tak kalah sengsara. Anggotanya yang terlihat pasrah terpaksa duduk-duduk saja dengan para PKL dan preman yang mangkal di depan markasnya. Kesiagaan mereka sudah tergerus sikap tak peduli dan mau memang sendiri para PKL dan preman yang menguasai akses jalan di depannya. Sampai di situ tiba-tiba bau sengit kambing merebak.
Saya kaget. Kok ada bau kambing yang sangat menyengat di kerumunan pedagang pakaian dan aneka rupa produk kain ini? Ternyata menjelang sampai ke pintu barat dan selatan Blok B—bangunan baru Pusat Grosir Tanah Abang yang berarsitektur modern—ada sebuah lapak pedagang kambing. Baunya, alamaaak! Kok bisa pedagang kambing dibiarkan bercampur dengan pedagang kain dan makanan? Saya tak mau memikirkannya, langsung saja naik tangga di samping markas pemadam kebakaran dan menghilang ke Lantai 1 Blok F1.
Itu sekilas potret Tanah Abang sebelum Jokowi dan Ahok—Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta---menertibkannya mulai 11 Agustus lalu, namun sebenarnya riwayat Tanah Abang sudah berlangsung lama, karena pasar yang kini terkenal sebagai pusat grosir produk tekstil dan garmen terbesar serta termurah di Asia Tenggara ini resminya sudah berusia 278 tahun! (Waktu itu, kalau sekarang, 280 tahun).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H