Lihat ke Halaman Asli

Menatap Kepolisian Negara Ditengah Badai Politik

Diperbarui: 14 Desember 2016   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://id.wikipedia.org/wiki/Tito_Karnavian

Memperhatikan situasi politik terkini yang menghangat, kita menjadi ikut memperhatikan sikap Kepolisian Negara, yang dalam tugas dan kewenangannya pada akhirnya bersinggungan secara langsung dengan situasi keamanan nasional.

Kepolisian sebagai penanggungjawab keamanan nasional, segera menjadi sorotan publik, berkaitan dengan kebijakan tekhnis yang diambil dalam menjalankan kewajibannya, menjaga stabilitas keamanan.

Polisi, mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya harus memposisikan dirinya sebagai garda terdepan dalam perkara keamanan nasional. Suatu hak sekaligus kewajiban yang memiliki resiko mendapatkan pujian berikut makian. Karena publik melihat kinerja tersebut secara telanjang, transparan.

Marilah kita melihat kondisi dilematis yang dihadapi oleh kepolisian.  Menilik dari khitahnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawahPresiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesiayaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 

Kondisi ini yang kerap membuat kepolisian berhadapan dengan kondisi dilematis, terutama jika kemudian terjadi friksi politik antara rakyat terhadap penguasa, dalam hal ini Presiden, yang notabene adalah pimpinan diatas pucuk pimpinan Kepolisian Negara, Kapolri. Kita tahu, bahwa Polri dipimpin oleh seorangKepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang sejak 13 Juli 2016 jabatan Kapolri dipegang olehJenderal Polisi Tito Karnavian.

Tetapi kita akhirnya harus menjadi permisif terhadap kebijakan kepolisian berkaitan dengan tindakan yang dipandang secara objektif, dianggap telah mengganggu ketertiban umum, melanggar hukum. Hal tersebut sudah sesuai dengan tugas pokok Kepolisian Negara. Tentunya tanpa harus mengabaikan tugasnya menjadi pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Berkaitan dengan adanya aksi unjuk rasa yang belakangan ini marak berhubungan dengan tuntutan sebagian masyarakat agar gubernur non aktif DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama atau Ahok segera ditersangkakan, untuk kemudian juga dituntut untuk segera ditahan, kepolisian menemui situasi yang amat dilematis. Karena kita tahu, persoalan mentersangkakan, apalagi menahan seseorang yang dipandang telah melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum adalah hak subjektif kepolisian.

Bukankah kita telah sepakat, bahwa dalam menjalankan tugasnya, kepolisian harus bebas dari intervensi dan tekanan pihak manapun? Maka dengan memberi ruangyang cukup proporsional kepada kepolisian, berarti kita telahikut serta untuk tidak melakukan intervensi dan tekanan. Apakah hal ini dipahami?

Penulis mencatat, beberapa hal yang terjadi telah membuat pihak-pihak kemudian melewati batas kewajarannya, terutama dengan melanggar kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dan tekanan kepada pihak kepolisian dalam menegakkan keadilan dalam sebuah kasus hukum.

Kita tentu tidak melihat situasi ini dalam konteks keberpihakan kepada pihak tertentu. Penulis melihat, dalam praktiknya seharusnya teramat sulit bagi kita untuk melakukan aksi apapun dalam mengintervensi dan menekan kepolisian dalam bersikap terhadap sebuah peristiwa hukum. Sekalipun tekanan dilakukan dalam bentuk pengerahan massa besar-besaran. Karena jika saja, kepolisian mudah diintervensi atau ditekan untuk bersikap, maka itu sama saja dengan menceburkan kepolisian kedalam jurang kesalahan yang amat dalam.

Sering kita menyaksikan, ada pihak yang menuduh kepolisian dalam menjalankan tugasnya telah diintervensi oleh kekuasaan, atau setidaknya oknum kekuasaan. Awam melihat, pihak yang berada dalam kekuasaan memiliki kendali taktis untuk secara diam-diam melakukan intervensi terhadap kepolisian dalam sebuah kasus. Istilahnya bahkan, bisa menitip ‘pesanan’, apakah memenjarakan orang atau sebaliknya membebaskan orang. Melalui akses politik yang dimiliki selaku seseorang yang berada dalam sistem kekuasaan, oknum tertentu bisa memenjarakan lawan politik, tetapi juga sekaligus bisa ‘membebaskan’ sekutu politiknya dari jerat hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline