Lihat ke Halaman Asli

Kepala BIN Harus Intelijen Berorientasi Maritim dan Punya Jaringan Internasional

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Badan Intelijen Negara harus dikepalai oleh seorang intelijen karier yang memiliki orientasi maritim dan mempunyai jaringan internasional yang cukup baik. Hal tersebut menjadi keharusan dikarenakan intelijen Indonesia kedepan harus mampu mengamankan visi poros maritim pemerintahan Jokowi-JK. Terkait pentingnya jaringan internasional, itu dikarenakan alasan bahwa dalam mengamankan kepentingan nasional, intelijen Indonesia harus mampu memetakan kekuatan intelijen asing dan juga harus memiliki kecakapan dalam mengkomunikasikan kepentingan tersebut kepada negara lain. Demikian disampaikan oleh IRWAN SUHANTO, pengamat politik dan intelijen, Anggota Dewan Pendiri LEMBAGA KAJIAN STRATEGIS NASIONAL sekaligus Anggota Dewan Pakar Indonesia Movement Strategic and Analysis Center. Ditemui di Semarang dalam wawancara bersama IMOSAC, Irwan juga menyatakan bahwa sudah saatnya intelijen Indonesia merubah orientasi gerakannya dari pengamanan internal semata tetapi lemah apabila berhadapan dengan kepentingan asing. Berikut petikan wawancara tersebut;

IMOSAC :

Presiden Jokowi telah mengumukan kabinetnya, kenapa hingga hari ini belum juga ada tanda-tanda Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) diumumkan?

Irwan :

Harus dikatakan bahwa ini diluar kelaziman, karena biasanya seorang presiden terpilih langsung mengumumkan Kepala BIN baru bersamaan dengan kabinetnya. Tetapi itu tidak berarti presiden melanggar ketentuan karena memang tidak ada keharusan kabinet diumumkan bersamaan dengan Kepala BIN yang baru. Ini hanya masalah kebiasaan saja. Saya melihat bahwa presiden memiliki beberapa pertimbangan sehingga tidak segera mengganti Kepala BIN. Anda dan banyak orang tahu, bahwa posisi Kepala BIN adalah posisi penting, bukan hanya bagi presiden secara pribadi tetapi juga bagi kepentingan nasional. Maka dari itu, pertimbangan matang tentang siapa Kepala BIN yang cocok bagi pemerintahan saat ini haruslah ditentukan dengan sangat terukur.

IMOSAC :

Apakah dengan tidak segera mengganti Kepala BIN, kepentingan pemerintahan saat ini tidak dalam resiko, mengingat Kepala BIN saat ini adalah produk rezim yang lalu?

Irwan :

Logikanya akan seperti itu. Walaupun tentu kita semua harus menyadari bahwa BIN adalah sebuah sistem, bukan orang per orang. BIN khan bukan partai politik, maka seharusnya memang tidak terikat pada kekuasaan tertentu, mengingat BIN adalah instrumen kepentingan nasional, bukan kepentingan sebuah rezim. Tetapi apabila ditanyakan apakah tidak menimbulkan resiko-resiko apabila presiden tidak segera mengganti Kepala BIN, saya harus katakan bahwa keputusan menunda pergantian Kepala BIN memiliki resiko tinggi. Di beberapa media online sejak beberapa bulan lalu saya sudah suarakan perlunya mengganti Kepala BIN, apalagi sejak peristiwa pengibaran bendera OPM dan GAM di Bundaran HI beberapa waktu lalu. Disitu saya mengatakan bahwa kejadian itu menghadirkan dilema bagi BIN sebagai sebuah institusi. Kalau tidak tercium sejak awal gerakan itu, maka intelijen kita sangat lemah dan mandul, mengingat Bundaran HI hanya berada dalam radius beberapa kilometer dari Istana Negara. Kalau tercium tetapi tidak mampu mencegah, maka jangan-jangan itu sengaja dibiarkan. Peristiwa itu rasanya sudah cukup menjadi indikasi bahwa presiden harus segera mengganti Kepala BIN dan segera saja tugaskan untuk membenahi jajaran intelijen didalamnya. Persoalan apakah kejadian itu dikarenakan Kepala BIN saat ini adalah bagian dari rezim lama atau bukan, saya rasa faktor tersebut selalu ada.

IMOSAC :

Apabila Presiden Jokowi harus mengganti Kepala BIN, kategori seperti apakah yang dianggap layak dan pantas dipilih ?

Irwan :

Jelas harus memiliki orientasi maritim. Karena visi maritim Jokowi khan memang sangat penting dan wajib didukung. Sehebat apapun Kepala BIN kita, apabila ia tidak memiliki orientasi maritim, kita akan dipecundangi oleh negara lain. Ingat, bahwa persoalan maritim bukan hanya melulu soal laut. Didalamnya ada begitu banyak fator yang berurusan dengan hajat hidup bangsa ini, dimulai dari persoalan sumberdaya nasional, baik didarat maupun dilaut, soal keamanan negara dari kejahatan dilaut, hingga soal kedaulatan negara, baik kedaulatan politik maupun kedaulatan teritorial. Dan harus tetap dipahami bahwa hampir seluruh perbatasan negara kita dengan negara tetangga ada dilaut.

IMOSAC :

Apakah selama ini fungsi itu tidak dijalankan oleh intelijen kita ?

Irwan :

Kalau dijalankan secara maksimal dan benar maka seharusnya tidak ada sumberdaya laut kita yang dicuri negara lain seenaknya, bahkan terang-terangan. Tidak ada pelabuhan-pelabuhan tikus yang jumlahnya ribuan, sehingga para penyelundup bisa leluasa bongkar muat barang-barang ilegal. Tidak akan ada kapal asing yang sesukanya wara-wiri di perairan kita, itu jelas perbuatan menghina kedaulatan teritori negara kita dan menginjak-injak kedaulatan politik NKRI.

IMOSAC :

Lau bagaimana anda mengklasifikasi kebutuhan itu kedalam individu yang dianggap pantas memimpin BIN ?

Irwan :

Intelijen khan secara sederhana dapat kita bagi kedalam tiga kelompok besar, intelijen sebagai sebuah pengetahuan, intelijen sebagai sebuah kegiatan dan intelijen sebagai sebuah organisasi. Apabila kita sepakat tentang hal itu, maka sangat mudah kita menemukan siapa yang pantas menjadi Kepala BIN. Varian lain sebagai tambahan yang kita anggap perlu adalah faktor loyalitas kepada presiden dan sebaik apa pengetahuannya tentang maritim.

Seorang Kepala BIN harus memilki pengetahuan intelijen yang baik, juga terutama intelijen maritim. Ia juga harus setidaknya pernah menjalankan kegiatan intelijen secara cakap, yang tentunya akan permudah dirinya menjalankan tugas-tugas intelijen. Dan seorang Kepala BIN juga harus orang yang pernah terlibat dalam organisasi intelijen negara, sehingga ia memahami anatomi organisasi intelijen, terutama apabila ia kemudian dituntut untuk memperbaiki hal-hal yang sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dunia intelijen kedepan. Nah dalam konteks visi maritim, ketiganya harus mengarah kedalam kepentingan nasional tersebut, tanpa terkecuali.

Kita semua tentunya bisa merasakan bahwa sangat mudah kita mempersepsikan bahwa intelijen kita sangat canggih apabila menghadapi “bahaya” dari dalam negeri tetapi lumpuh apabila berurusan dengan kepentingan asing, beberapa contohnya khan bisa dilihat dalam penanganan masalah separatisme yang kita semua tahu ditunggangi oleh kekuatan asing. Belum lagi kekurangajaran kapal-kapal asing yang mondar-mandir diwilayah integritas bangsa kita dengan sangat terang-terangan. Praktik ini yang harus diluruskan.

IMOSAC :

Berarti BIN akan banyak mengalami perbaikan internal ?

Irwan :

Bukan perbaikan, saya mengistilahkannya sebagai revitalisasi fungsi, baik kedalam maupun keluar lembaga. Dalam segala aspek kelembagaan, sejak Presiden Jokowi dilantik, rakyat mengharapkan negara dapat memberikan pelayanan terbaiknya, bukan sebaliknya, membiarkan yang tidak maksimal dan menyimpang. Itu statusquo namanya. Siapapun sepakat bahwa perilaku statusquo harus diruntuhkan, karena itu merugikan kemaslahatan orang banyak.

IMOSAC :

Anda pernah menyatakan bahwa As’ad Said Ali layak menjadi Kepala BIN, lalu kenapa ia tidak segera dilantik oleh presiden? Apakah ada yang lebih layak dan pantas dari As’ad ?

Irwan :

Iya, saya mungkin orang pertama yang secara terbuka menyebut nama yang saya anggap pantas menjadi Kepala BIN di media, As’ad memang saya katakan layak dan pantas. Karena memang dari tiga hal tadi (pengetahuan, kegiatan dan organisasi intelijen), As’ad yang paling mumpuni. Harus diakui bahwa lumayan sulit mencari calon lain yang setara.

Persoalan kenapa As’ad tidak juga dilantik, saya rasa bisa disebabkan banyak faktor. Terbuka saja, ada suara-suara miring diluar yang ‘mempermasahkan’ As’ad apabila terpilh menjabat Kepala BIN, mengingat ia bukanlah seorang tentara, walaupun saya tidak setuju dikotomi sipil-tentara itu masih digunakan. Seharusnya kita sudah masuk kedalam fase memilih orang karena kemampuannya, tapi rupanya masih ada juga yang menjadikan faktor itu sebagai sentimen negatif, dan As’ad kali ini yang disasar.

Persoalan apakah ada yang lebih layak atau tidak, maka kita harus kembali kepada kenyataan bahwa layak dan pantas harus didasarkan pada standar dan ukuran yang rigid. Bukan karena faktor suka tak suka, apalagi sampai soal kepantasan ditentukan oleh besarnya dukungan politik partai-partai. Kita harus menghindari praktik itu. Kita punya cita-cita besar sebagai negara besar, tak akan bisa kita sampai apabila pikiran dan perilaku kita masih sempit dan kerdil.

IMOSAC :

Ada desas desus, bahwa calon Kepala BIN berasal dari kalangan internal tentara? Anda setuju ?

Irwan :

Saya tadi katakan bahwa saya sebenarnya melihat As’ad Said Ali sebagai yang terpantas. Tapi diluar itu saya tahu juga banyak yang layak dan pantas. Ini khan masalah selera dan ukuran. Tapi apabila faktor “harus tentara” yang menjadi pertimbangan, maka ya mari kita seleksi nama-nama calon Kepala BIN dari kalangan tentara yang kompeten, bukan sekedar dekat dengan presiden, apalagi jika jabatan itu hanya untuk “membayarnya” karena pernah menjadi tim pemenangan Jokowi-JK. Kalaupun harus seorang berlatar tentara, maka mari kita bicara tentang kompetensi dan rekam jejak. Kalau tentara, intelijen, tapi mindsetnya masih yang lama, maka tak usah dipilih.

Secara langsung harus saya katakan bahwa apabila akhirnya Kepala BIN harus diisi oleh seorang tentara, maka ia harus sesuai dengan kriteria diatas yang tadi saya sebutkan. Kalau perilakunya statusquo ya lebih baik jangan dipilih.

IMOSAC :

Ada kabar, mantan Wakil Panglima ABRI Jenderal (purn) Fahrul Razi dijagokan sebagai Kepala BIN, bagaimana tanggapan Anda ?

Irwan :

Saya pikir sah-sah saja. Tapi saya tetap berpegang kepada ketiga ukuran diatas, ditambah persoalan orientasi maritim. Pertanyaanya adalah apakah Jenderal Fahrul Razi memiliki orientasi maritim yang simetris dengan cita-cita visi maritim presiden ? Hal tersebut khan harus diuji. Kalau mengganti Kepala BIN tapi klasifikasinya masih sama dengan yang sekarang, lebih baik tak usah ada penggantian Kepala BIN. Kalau setelah diuji, lalu orientasi intelijen Jenderal Fahrul Razi ternyata sejalan dengan visi maritim Presiden Jokowi, maka ia harus kita dukung tanpa syarat. Tapi apabila ternyata tidak sesuai, kita harus berani mengatakan ia tidak layak. Jadi persoalannya bukan pada tentaranya, buka pula pada faktor pernah menjadi tim pemenangannya. Tapi kepada kompetensi sesuai tuntutan kepentingan nasional kita saat ini.

IMOSAC :

Anda pernah mendengar nama lain selain Jenderal Fahrul Razi yang digadang-gadang sebagai Kepala BIN ?

Irwan :

Iya, saya pernah mendengar beberapa nama. Tapi kemudian nama-nama tersebut timbul tenggelam. Terakhir terdengar nama Letjend TNI AD Subekti, yang saat ini bertugas di Lemhanas juga ada dalam konfigurasi calon Kepala BIN. Tapi akan bagaimana prosesnya tentu masih sangat dini untuk diprediksi. Karena memilih Kepala BIN bagi Presiden Jokowi bukan perkara remeh temeh, itu adalah sebuah pertaruhan. Saya rasa kehadiran  Hendropriyono dan Luhut Panjaitan didekat presiden, akan sangat membantu presiden untuk menentukan pilihannya. Keduanya intelijen senior yang tidak diragukan kemampuannya. Tinggal dikemas dengan kebutuhan sesuai tantangan kepentingan nasional kedepan saja. (imosac/2015/02/27).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline