K.H Ahmad Dahlan adalah seorang pengusaha batik sekaligus kiai di masjid kauman Yogyakarta. Ayahnya bermana K.H Abu Bakar. Ia memiliki kepribadian yang terbuka, respek dan serba ingin tahu. Kemauannya begitu tangguh untuk meluruskan kehidupan masyarakat dari kredo yang menyesatkan dan membodohkan menuju pada kemurnian petunjuk primer agama Islam, yaitu Al-Quran dan Al Hadits. Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Berikut perjalanan hidup K.H Ahmad Dahlan : Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat. Tahun 1922. Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama yang bertujuan untuk mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat yang juga membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu. Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan. Keanggotaannya di Boedi Oetomo memberikan kesempatan luas berdakwah kepada para anggota Muhammadiyah dengan mengajar agama Islam kepada siswa-siswa yang belajar di sekolah Belanda. Antara lain Kweeck School di Jetis. OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsch Amtenaren), Sekolah Pamong Praja (Magelang). Selain dakwah yang diadakan di rumahnya di Kauman. Tahun 1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal. Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang. Tahun 1914 besluit pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu yaitu Sapatresna. yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan. Tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Tahun 1922 didirikan Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisyiyah kalangan muda. Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan yang sedang dilanda musibah. Tahun 1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji. Selain itu mendirikan pula mushala yang pertama di Indonesia untuk kaum wanita Untuk mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah. Tahun 1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School (Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo). Pada tahun 1921 Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo, Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka). Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak tahun 1914. Kemudian Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota dan Umat Islam pada umumnya. Hubungan pergaulan Kiai Ahmad Dahlan sangat luas. Selain di Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, Kiai Dahlan merupakan komisariat Central Sarekat Islam (SI) dan Adviseur (Penasehat Pusat) SI. Sekaligus ahli propaganda dari aspek dakwah bagi SI. Bahkan kiai ini termasuk rombongan yang mewakili pengurusan pengeshan Badan Hukum Sarekat Islam, bersama Cokroaminoto. Aktivitasnya di SI sejak tahun 1913. Selain di SI, Muhammadiyah, dan Boedi Oetomo, jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan pun menjadi anggota perkumpulan Jami’atul Khair (1905) dari kalangan pribumi, bersama Husein Jayadiningtrat. Luasnya hubungan Kiai Ahmad Dahlan bisa dilihat dari donatur Muhammadiyah yang terdiri dari bermacam kalangan. Antara lain para pemimpin SI, organisasi Islam di pulau Jawa dan luar Jawa. Juga para politisi dan Birokrat seperti Pegawai Jawatan Kereta Api dan Irigasi. Itulah amal perjuangan KH Ahmad Dahlan. Yang banyak melakukan rintisan amal sosial. Sehingga dakwah Islam yang digerakan Muhammadiyah bukan berputar-putar sekedar pada wacana, tapi aksi sosial. Melihat perilaku gerakan KH Ahmad Dahlan tampak jelas KH Ahmad Dahlan merupakan sosok manusia amal (man of action). Kiai Ahmad Dahlan juga membuktikan dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas sebagai muslim. Yaitu adanya kesatuan antara pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Meskipun bagi generasi selanjutnya Ahmad Dahlan lebih tampak dari sisi aksi sosialnya. Atau kesulitan menangkap pemikiran atau ide-idenya, baik terucapkan atau tertulis. Karena memang tidak banyak menulis. Ide-ide dan pemikirannya itu terwujudkan dalam hasil karya gerakan sosial. Maka untuk menangkap sejauh mana pemikiran Ahmad Dahlan kita harus berusaha menangkap esensi dari amal sosial keagamaan Muhammadiyah seperti disebutkan di atas yang terus berkembang hingga sekarang. Oleh : Y. Afifah, Kabid Keilmuan KoTA-Universitas Jember (dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H