Lihat ke Halaman Asli

Satu Agama, Berjuta Ekspresi Budaya

Diperbarui: 4 Juli 2016   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islam sebagai sebuah agama, tentunya tidak pernah lepas dari budaya suatu masyarakat. Begitu kayanya negeri ini dengan segudang tradisi budaya yang dapat bersenyawa dengan nilai-nilai Islam. Islam dapat diekspresikan melalui budaya-budaya lokal dengan kekhasan tersendiri. Misalnya, pada saat penyambutan bulan Ramadan, di berbagai daerah terdapat berbagai tradisi yang secara turun-temurun dilakukan.  Di Kabupaten Kudus dapat dijumpai tradisi “dandangan” yang rutin dilakukan setiap menjelang masuknya bulan Ramadan. 

Dalam sejarahnya, dandangan adalah tradisi berkumpulnya para santri di depan masjid Menara Kudus setiap menjelang bulan Ramadan untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa. Dalam perkembangannya, tradisi ini dimanfaatkan pula oleh para pedagang untuk menjajakan dagangannya di sekitar masjid dan juga diselenggarakan kirab dandangan oleh pemerintah daerah yang melibatkan peserta dari berbagai sekolah dan elemen masyarakat lainnya. 

Lain halnya di Yogyakarta, dapat dijumpai tradisi “padusan” dengan cara mandi di sungai maupun pantai. Tradisi padusan ini merupakan budaya campuran Jawa dan Islam dengan tujuan menyucikan diri sebelum memasuki bulan puasa. Padusan berasal dari kata “adus” dalam bahasa Jawa yang berarti “mandi”. Sebagian masyarakat Jawa melaksanakan tradisi ini sehari menjelang tanggal 1 Ramadan.

Ihwal Mudik dan Lebaran

Berbeda dengan tradisi menjelang masuknya bulan puasa, tradisi yang dilakukan pada saat mendekati lebaran, yaitu sebagai besar masyarakat Indonesia melakukan mudik. Tradisi mudik ini hanya bisa dijumpai di Indonesia, bahkan di negara-negara Arab sekalipun tidak mengenal tradisi mudik ini. Mudik biasanya tidak pernah lepas dengan kemacetan di jalan raya yang kerap kita temukan pemberitaannya di berbagai media cetak maupun elektronik, atau bahkan kita sendiri sering merasakannya. Memang mudik dan kemacetan ini seperti dua sisi mata uang. Semacet apapun di jalan, seolah akan terbayarkan lunas ketika pemudik telah sampai di kampung halaman. Karena perjumpaan dengan sanak keluarga adalah tujuan mereka melakukan mudik.

Mudik adalah kata yang familiar di negara kita sebagai penanda akan datangnya hari besar umat Islam di Indonesia. Selain itu, mudik adalah kata yang mengalami peningkatan martabat, karena kata ini semakin jauh dari makna aslinya, yakni “mengudik” atau “menuju udik”. Kata “udik” pernah menjadi bahan ejekan bagi orang yang tertinggal dari kemodernan, kampungan, dan tidak berpendidikan. Ungkapan “dasar udik” atau “maklumlah, dari udik” menjadi ekspresi untuk merendahkan seseorang. Keadaan menjadi berubah ketika berjuta-juta orang melakukan tradisi mudik. Kata “udik” pun mengalami pergeseran makna, yang semula merendahkan sekarang menjadi tren bagi sebagian besar masyarakat kita.

Dalam konteks kaidah bahasa Indonesia, pemberian imbuhan yang tidak standar pun tidak menjadi persoalan yang berarti. Justru dengan hadirnya kata “mudik” dapat memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia (lihat KBBI). Jika menyesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, maka kata “mudik” seharunya berbentuk “mengudik”. Fenomena pembentukan kata yang tidak sesuai kaidah ini sama halnya dengan kata “mundur” yang berasal dari kata “undur” yang seharusnya menjadi kata “mengundur”, namun akhirnya kata “mundur” menjadi kata dasar tersendiri.

Kata “udik” sebagai lawan makna dari kata “hulu” merupakan generalisasi terhadap lokasi peradaban. Peradaban yang dinamis dan kompleks memang biasanya berkembang di hulu (muara sungai, tepi sungai, atau pantai). Orang-orang yang tinggal di hulu disebut orang kota. Sedangkan yang bertahan di udik disebut orang kampung atau orang desa. Kota dianggap sebagai representasi peradaban yang halus, karena orang kota biasanya kosmopolitan dan memiliki perbedaan yang beragam. Tidak aneh jika padanan kota adalah “urban”, bahasa Latin yang artinya “halus”.

Sebaliknya, orang-orang yang kurang halus atau terlalu lugu kerap diidentikkan dengan “kampungan”, “ndeso” dan juga “udik”. Beruntunglah ada kata “mudik” sehingga kata “udik” tidak selalu bermakna jelek. Bahkan mudik tak harus bermakna jeda liburan dari kota ke desa. Dari kota tempat tinggal ke kota kelahiran (bukan kampung) pun disebut mudik. 

Kepulangan dari kota di luar negeri ke kota besar di Indonesia untuk berlebaran pun dianggap mudik. Bahkan, orang kota yang bekerja di pelosok Indonesia, kemudian kembali ke kotanya untuk lebaran pun juga disebut mudik. Inilah fenomena menarik di masyarakat kita dalam mengekspresikan budaya Islam yang tidak ditemukan di negara manapun.

Tradisi mudik merupakan produk kultural Islam di Indonesia. Kaum muslim maupun nonmuslim bisa memanfaatkan momentum lebaran dengan cara berkumpul di daerah asalnya. Istilah “lebaran” itu pun khas Indonesia, tidak dikenal di Arab, yang menyebutnya “eid mubarak” (hari berkah). Uniknya, tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana lahirnya kata “lebaran” itu. Penggunaan istilah “lebaran” yang sangat lokal ini menjadikan hari raya Idul Fitri seolah-olah menjadi hari raya bersama bagi seluruh warga Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline