Seorang pesulap - sekaligus host sebuah acara televisi - pernah berkata: "Semakin dewasa seseorang, orang tersebut akan semakin enggan untuk bilang: 'I love you, Mom!' atau 'I love you, Dad!'. Jangankan secara ucapan, memeluk pun canggung." Kurang lebih seperti itu. Jarang sekali menemukan seseorang yang bisa blak-blakan menunjukan rasa cintanya kepada ibu atau ayah.
Menyaksikan akting Ryosuke Yamada sebagai murid SMA bernama Daichi Suzuki di "Risou no Musuko", sungguh terasa ganjil sekali. Kecintaan Daichi Suzuki terhadap ibunya, Umi (Kyoka Suzuki), sungguh membuat kita sangat terpana. Hal yang lumrah. Sekarang ini, semakin jarang sekali ada seseorang yang masih menyayangi orangtua, apalagi menaruh respek. Yah walau sebetulnya juga, cara Daichi menunjukan rasa cintanya itu sedikit berlebihan. Ia jadi seperti tengah mengidap Oedipus Complex. Karena rasa cinta tersebut, ia sering diledeki 'anak mama' - atau masako (Kependekan dari Mama no Musuko). Dan istilah 'anak mama' itu negatif. 'Anak mama' itu sering diidentikan sebagai anak manja dan tidak mandiri. Padahal yang telah dilakukan Daichi malah sebaliknya. Ia benar-benar menjadi "Risou no Musuko" (baca: anak ideal). Umi Suzuki sendiri merupakan orangtua tunggal. Di awal episode, kita pasti menganggap Umi sebagai ibu angkat Daichi. Awalnya penulis juga beranggapan seperti itu. Namun mengikuti beberapa episode, tersadarlah bahwa Umi jadi single mother karena masa lalu. Ia dikhianati oleh suaminya yang meninggalkannya sewaktu hamil Daichi. Semula dokter menyarankannya agar meletakan Daichi di bawah pengasuhan Kangaroo Center, semacam panti asuhan. Bahkan salah seorang karyawati pernah berkata bahwa ia tidak memiliki naluri keibuan. Ia jadi tersinggung, lalu memutuskan mengasuh sendirian. Selanjutnya, saat berada di sebuah kafe, ia jadi terbakar untuk siap menjadi ibu tunggal setelah menonton tayangan, dimana ada seorang atlet akan membelikan rumah pada ibunya. Umi jadi memikirkan, kelak kerja kerasnya mengasuh Daichi akan terbayarkan dengan sebuah rumah. Lucu juga. Karena tokoh Umi ini jadi menganggap anaknya sebagai aset. Tapi kalau dipikir, tak sedikit orangtua seperti Umi Suzuki ini. Saat anaknya bekerja atau menikah, pasti langsung punya pemikiran bakal mendapatkan ganti rugi atas segala kerja keras mengasuh dulu. Ketika terjadi hal sebaliknya, mereka kecewa dan menyesal telah membesarkan anak yang bersangkutan. Yah anak memang kado dari Tuhan, namun kado itu berbeda dari kado-kado lainnya. Suatu waktu kado itu akan diambil dan itu berupa saat anak itu menempuh kehidupan sendiri. Selain pandangannya yang mengira anak sebagai aset, Umi Suzuki juga terlalu khawatir dan lebih memercayai kata-kata orang lain ketimbang anaknya sendiri. Ia terlalu menganggap serius kata-kata rekan sesama penjaga kantin di sebuah sekolah. Ada salah satu rekan kerja yang bilang agar ia memperhatikan pergaulan anaknya. Ia langsung menganggap serius, sehingga jadi merepotkan Daichi dan teman-temannya. Daichi sampai harus membawa teman-temannya ke apartemen dan memperkenalkannya kepada Umi Suzuki. Atau saat ia terpengaruh kata-kata temannya soal anak lelaki yang suka dengan hal berbau pornografi. Ibu tersebut jadi mengobrak kamar Daichi. Sialnya malah tak menemukan satu pun majalah, kaset, atau gambar porno. Berikutnya ia malah curiga Daichi gay. Kadang tiap melihat perbuatan Umi Suzuki itu, jadi sadar satu hal: seorang ibu atau ayah kadang suka berharap lebih terhadap anaknya. Anaknya harus jadi ini, jadi itu. Padahal anak itu hanya kado titipan dari Tuhan. Sewaktu-waktu bisa diambil. Lebih baik biarkan saja anak yang bersangkutan memberikan retribusi dengan caranya sendiri. Kita kembali pada Daichi Suzuki. Remaja SMA itu memang anak ideal. Ia selalu berusaha mengerti apa mau ibunya itu. Selalu menyayangi dan menaruh respek. Bahkan ia tak berani menginjak foto ibunya saat disuruh seniornya. Juga berani menolak ajakan jalan bareng, karena sudah punya janji dengan ibunya. Malah ia bisa menjadi cowok yang perkasa karena kata-kata: "Ore wa masako janee yo. Tada okaa-san daisuki dake sa" (Gue bukan anak mama, tapi cuma sangat menyayangi ibu). Tak heran ibu dari sahabatnya yang bernama Kouji Kobayashi jadi iri dan ingin punya anak seperti Daichi Suzuki. Selain penyayang, Daichi juga nyaris bisa apa saja. Benar-benar anak teladan yang amat sangat bisa dibanggakan. Namun, betapa kita cinta pada ibu sendiri, harus tetap menyadari cinta itu memang ada batasan. Seorang ibu atau ayah pun juga memakluminya. Kelak ada saatnya si anak harus meninggalkan orangtuanya, demi seseorang lain yang dicintai. Walau demikian, tetap tak boleh mengurangi rasa cinta ke ibu atau ayah sendiri. Benar-benar menampar saat Daichi berkata: "Rasa cintaku pada mama itu tak akan berkurang sedikit pun, walau aku punya seorang pacar atau istri." Oh yah, selain berbicara soal hubungan ibu (atau bisa juga ayah) dan anak, drama Jepang besutan Noriyoshi Sakuma, Satoru Nakajima, dan Masahiro Mori ini juga berbicara soal persahabatan. Amat sangat terkesan dengan perlakuan Daichi terhadap teman sekelasnya. Terlebih lagi pada putra seorang pemilik sebuah perusahaan kenamaan. Waktu Kouji Kobayashi menawarkan sejumlah uang, ia menolak. Ia bilang - ia menjadi teman Kouji bukan karena uang. Gara-gara dirinya pula, Kouji jadi sadar bahwa uang bukan segalanya. Kouji banyak disadarkan akan pola pikirnya yang keliru.
Meskipun sarat makna, drama yang rilis kali pertama pada 14 Januari 2012 ini memang agak payah secara sinematografi. Saat menyaksikan aksi-aksi laganya, jadi teringat kartun Tsubasa Ozora yang hiperbolis. Bahkan efek darahnya juga tidak terlalu meyakinkan. Ada juga beberapa bagian yang aneh, tapi lucu. Seperti ada salah seorang tokoh yang selalu memakai topeng dan mengeluarkan suara gajah. Ada pula tokoh Wanikawa yang punya hobi menjadi drakula. Walaupun banyak hal konyol atau efek yang tak terlalu meyakinkan, drama ini memang layak ditonton. Lewat drama ini, kita bisa belajar bagaimana hubungan anak dan ibu yang baik dan benar itu. Juga bisa belajar soal yang namanya persahabatan. Pokoknya banyak hal yang bisa kita pelajari. Tak hanya bikin kita tergelak, namun juga bisa membuat kita terperangah dan berkaca-kaca. Selain itu, walau di awal-awal episode sering menemukan yang namanya klise, episode-episode akhir sungguh tak bisa ditebak dan nonjok banget. Drama ini juga cukup filosofis. RATE: 90 / 100
Genre: Komedi, Family
Sutradara: Noriyoshi Sakuma, Satoru Nakajima, dan Masahiro Mori
Jumlah episode: 10
Pemain: Ryosuke Yamada, Kyoka Suzuki, Taisuke Fujigaya, Yuto Nakajima, Anju Suzuki,....
Sumber gambar: hasil capture
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H