"Preman itu 'free man' yaitu orang yang selalu mau bebas dan tidak mau diatur. Bagi saya preman di Jakarta ada sebabnya yaitu masalah perut," kata Cawagub DKI Nachrowi Ramli (Nara) ketika menjawab pertanyaan panelis Imam B Prasodjo, pakar Psikologi UI saat debat kandidat putaran kedua Pemilukada DKI (Republika Online).
Andai pertanyaan yang sama juga dilontarkan tergadap para Kepala Daerah lainnya pun di Indonesia, saya kira jawabannya sama; preman = masalah perut. Jangankan premanisme atau para pelakunya, para koruptor pun punya alasan terkait masalah perut; selain perut dia, juga perut-perut keluarga dan kroninya.
Ada pula yang mengistilahkan "preman" sebagai "prei maling ora mangan". Kalau mengacu kepada istilah ini, maka para koruptor juga dapat digolongkan preman, yakni preman berjas dan berdasi serta berlindung dibalik atribut.
Saya meragukan keberadaan seluruh yang bercap preman itu karena urusan perut. Karena di daerah saya, justru banyak preman yang malah sudah tergolong makmur, namun tetap saja berpraktik sebagai preman.
Preman ada dimana-mana dalam berbagai bentuk. bahkan para pelaku jurnalistik pun bisa terjebak kedalam praktik berbau preman; praktik premanisme jurnalistik. Sebuah media massa yang secara sistematis mengeksploitasi sebuah objek berita sehingga berakibat kerugian besar bagi objek berita tersebut, bisa dikatakan telah melakukan praktik premanisme. Apalagi tujuan pemberitaan berindikasi kompensasi timbal balik dengan sejumlah angka, ini jelas praktik premanisme jurnalistik.
Praktik premanisme jurnalistik ini sempat dilakukan oleh sebuah media cetak terkenal di Kalimantan Selatan, yang mana beberapa tahun lalu menerbitkan sebuah koran mingguan dengan mewajibkan 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan berlangganan sebanyak 2 ribu eksemplar per edisi (per minggu).
Jadi tak selamanya atau seluruh tujuan preman adalah untuk urusan perut, tapi terkait berbagai urusan.