Lihat ke Halaman Asli

Imi Suryaputera™

Jurnalis, Penulis, Blogger

Aku Tak Perlu Pistol

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun lalu, di salah satu ruang hotel terkenal di Jakarta, aku dan teman sedang menunggu kedatangan seseorang.
Menurut temanku yang merupakan seorang pengusaha batubara cukup terkenal di Kalsel ini, seorang kenalannya dari Mabes Polri akan datang membawakan senjata api jenis pistol berpeluru tajam berikut perijinannya.

Setelah beberapa saat menunggu, datanglah orang yang ditunggu-tunggu tersebut, berpakaian biasa sambil menenteng sebuah koper.
Didalam kamar hotel, isi koper pun dibuka, 3 jenis senjata api pistol berpeluru tajam berada didalam koper tersebut; merk Baretta, FN, dan satunya jenis revolver.
Temanku itu menimang-nimang ketiga pistol tersebut secara bergantian sebelum akhirnya menjatuhkan kepada Baretta, yang bentuknya lebih besar dari kedua pistol lainnya.

"Kamu pilih salah satu dari 2 pistol lainnya, sekalian biayanya aku bayar," ujar temanku menawari.
Aku cuma termangu mendapat tawaran tersebut. Sambil berbisik aku menanyakan berapa biaya untuk 1 unit pistol berikut perijinannya kepada temanku, ia menjawab angka yang lumayan besar, dapat membangun sebuah rumah RSS di kampung.

Aku bilang ke temanku itu, saat ini dia megeluarkan uang ratusan juta untuk mempersenjataiku, suatu saat jika aku menembak orang, maka uang ratusan juta tak akan cukup untuk menyelesaikan perkaraku.
Kutegaskan kepada temanku yang sudah seperti saudara itu, aku pasti akan menembak orang yang menyinggung perasaanku, apalagi sampai bermaksud menyakiti tubuhku, karena kupikir buat apa memegang senjata api yang biayanya sangat mahal bila tak digunakan untuk menembak.

Aku bukan Koboy Palmerah, aku juga bukan Edi "Parto" Supono, yang cuma berani menembakkan senjata api ke atas. Aku adalah diriku sendiri, orang yang terbiasa tinggal di kampung, dengan tingkat emosi tinggi dan temperamen.
"Sudahlah, aku tak perlu senjata api. Cukuplah aku menjaga lisanku, sehingga antara aku dan orang lain saling memahami dan terhindar dari bentrok," ujarku.

Aku sudah memikirkannya untuk tak memegang senjata api. Karena menghindari arogansi, sok-sokan petantang petenteng, serta yang sangat penting adalah jangan sampai menembak orang lain disebabkan persoalan sepele.
Menurutku untuk dapat mencelakai orang, banyak cara dan trik, tak mesti menembaknya dengan senjata api.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline