Lihat ke Halaman Asli

Imi Suryaputera™

Jurnalis, Penulis, Blogger

Layanan Seks; 1 Tamu Dapat Bagian Rp 20 Ribu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki kawasan Gang Dolly Surabaya di waktu malam, jalan masuk menuju lokalisasi prostitusi yang konon terbesar di Asia Tenggara ini; sangat ramai. Kehidupan malam sangat terasa di kawasan ini. Di kanan kiri jalan masuk berderet bangunan yang menawarkan hiburan bagi yang sedang ingin melewatkan malam. Tampak sejumlah panti pijat tradisional (Pitrat) yang menawarkan pelayanan kepada yang ingin menghilangkan rasa pegal dan lelah tubuh setelah seharian bekerja, entah benar-benar panti pijat atau bukan, silakan saja masuk tanpa dipungut bayaran kecuali sudah mendapatkan pelayanan. Musik dangdut koplo berirama cepat dan menghentak bersahut-sahutan dari beberapa bangunan yang menawarkan hiburan musik karaoke. Di kawasan ini malam tak terasa berlalu cepat.

"Ada barang baru, Mas," tawar seorang pria berumur sekitar 30-an lebih sambil mendekat. Beberapa pria sebaya dan lebih tua juga turut mendekati para pria yang sedang berjalan-jalan di kawasan itu.
"Benar lho, Mas. Ini barang baru kemarin mondok, masih gres, bisa ditawar," bujuk pria tersebut.

Dari pria yang bertindak sebagai pencari tamu itu diperoleh info; tarif PSK di Dolly rata-rata ditawarkan Rp 85 ribu per 1,5 jam, bukan short time yang usai pakai bayar. Dengan waktu durasi 1,5 jam itu bagi yang punya tenaga ekstra, bisa on air 2 atau 3 kali. Peminat pun bisa bebas memilih PSK yang ia senangi. Selain itu tarif bisa ditawar, tak mesti tarif press, bisa ditawar Rp 75 ribu hingga Rp 65 ribu. Tarif yang masih bisa tawar menawar ini dikarenakan ketatnya persaingan.

Sebelum atau sesudah on air, tamu bisa berhibur diri berkaraoke dulu sambil minum-minum; soft drink, bir putih maupun bir hitam.

Tertarik dengan tawaran pria tersebut, aku melangkah mengikutinya ke sebuah bangunan yang dari luar di balik kaca, tampak didalam belasan wanita yang sedang duduk-duduk di ruang tamu. Aku dipersilakan oleh pria itu memilih. Akhirnya aku dapat juga pilihan, lumayan cantik masih muda pula. Tarif yang ditawarkan kusepakati saja tanpa minta kurangi.

Waktu 1,5 jam durasi yang diberikan untuk tiap tamu kumanfaatkan untuk mengobrol dulu dengan PSK yang kupesan. Mulanya ia protes ingin segera memberikan pelayanannya. Namun aku berjanji memberinya uang tip sebesar Rp 50 ribu jika mau mengobrol dulu dan menjawab beberapa pertanyaanku. Ia pun bersedia, kami pun mengobrol sambil minum-minum.

Hal yang pertama kutanyakan adalah berapa bagian dari penghasilan tiap usai melayani tamu. Wanita itu menjawab ia mendapatkan bagian Rp 20 ribu dari tiap tamu yang ia layani. Adapun sebab kenapa ia terjerumus sebagai PSK; sulitnya mencari penghasilan dikarenakan tak ada keahlian dan modal. Sedangkan ia mesti membiayai beberapa anak yang ditinggalkan oleh mantan suaminya. Intinya sebab klasik dari para PSK kebanyakan adalah kesulitan hidup secara ekonomi atau faktor ekonomi. Kalaupun mungkin ada yang bukan alasan-alasan ekonomi, ini pengecualian untuk segelintir orang.

PSK yang bersamaku itu bertutur dalam sehari paling tidak ia mesti mendapatkan 5 orang tamu, yang artinya bisa mengantongi Rp 100 ribu yang dapat ia gunakan untuk biaya makan minum dan sisanya disimpan. Pemilik tempat tak memberinya makan minum kecuali kamar berikut fasilitas untuk menerima dan melayani tamu. Bayangkan jika dalam beberapa hari tak ada seorang pun pria hidung belang yang memerlukan jasa si PSK, sedangkan kebutuhan jasmani makan minum tak mungkin dihentikan, belum termasuk biaya untuk penampilan agar para tamu terpikat.

Bagian Rp 20 ribu dari melayani tamu, sungguh imbalan yang tak seimbang jika mengingat bahaya terkena penyakit kelamin. Namun suka atau tidak suka beginilah faktanya, harus dijalani jika ingin bertahan hidup dan memberikan penghidupan bagi yang lainnya.

Akhirnya tak perlu aku ceritakan kelanjutan dari mengobrol kami di dalam kamar yang lampunya sengaja dibuat temaram. Selanjutnya adegan layak sensor dan perlu bimbingan orangtua bagi yang mencoba menontonnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline