Pada tahun 1997, kontingen asal Wakatobi-Tomia, kala itu masih menyatu dengan Kab. Buton yg membawa tarian Eja-Eja sempat mengharumkan nama SULTRA pada acara ulang tahun Taman Mini Indonesia Indah yg ke-23. Betapa tidak, dari sekian ratus penari dari seluruh Indonesia yg hadir, hanya tarian perang Eja-Eja yg didaulat menjadi tarian pembuka acara ultah TMII kala itu, tentu saja setelah melalui seleksi ketat dan berkompetisi dengan para penari dari seluruh Indonesia. Dalam pada itu, konvoi penari yg memadati areal Taman Mini Indonesia Indah sepanjang lebih kurang 6 kilometer, Eja-Eja juga yg diberi kepercayaan untuk berada di barisan paling depan, dan tarian pertama yg mendapat kehormatan menjabat tangan langsung 01 RI, saat itu masih di bawah komando Suharto. Pak Harto kala itu dalam pidatonya mengatakan bahwa Eja-Eja berpeluang menjadi salah satu tarian nasional...namun, sayangnya saat itu pihak pemerintah daerah tidak menjemput peluang.
Dan...karena kelambanan itu pula, hari ini Eja-Eja hanya menjadi aksesoris perlengkapan seni budaya di Wakatobi. Kebesarannya yg telah mengangkat harkat dan martabat Kepulauan Tukang Besi, Buton dan Sulawesi Tenggara tak ubahnya seperti mitos. Pemerintah daerah Wakatobi sepertinya lupa dengan sejarah atau mungkin juga pura-pura lupa, bahwa Eja-Eja sebagai warisan seni budaya patut dilestarikan, dikembangkan dan dihargai keberadaannya. Tidak semata melalui kata, tetapi pengembangan secara berkelanjutan sebagai aset daerah. Selain itu, para pelestari seni tari juga patut mendapat penghargaan, mereka juga satu dari sekian pilar pembangunan yg berperan besar. Orang-orang ini bekerja agar seni terangkat, agar seni menjadi milik semua orang, agar seni tidak pudar digilas modernitas, tapi...sayang, pemerintah daerah melihat mereka hanya sebagai relawan, tak lebih, pun tak kurang. Ironis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H