Membaca rentetan berita adanya penolakan saat prosesi pemakaman pasien Covid-19 di beberapa tempat membuat miris.
Belum lagi beredarnya informasi mengenai tenaga medis yang diusir dari tempat tinggalnya di beberapa wilayah seperti yang menimpa tenaga medis RSUD Banten, RSUP Persahabatan, dan di Purwokerto.
Kisah serupa juga banyak disebarkan di jejaring media sosial, seperti yang dibagikan oleh pengguna twitter dengan username @puputri707 yang mengisahkan:
"kakakku perawat dan ada temannya yang sesama perawat harus dirumahkan buat isolasi karena ada kontak sama pasien Corona. Selama isolasi banyak ibu-ibu gosipin dia. Bahkan anak-anak mereka terang-terangan ke depan rumah buat teriakin dia Corona".
Kisah lain dibagikan oleh username @haryanoe1 yang menuliskan, "ada teman yang bilang anaknya dikucilkan karena orang tuanya bilang pegawai RS Corona".
Kasus-kasus itu menjadi persoalan lain yang harus ditanggulangi bersamaan dengan gencarnya tindakan penanggulangan Covid-19. Kasus tersebut adalah cermin kuatnya stigma terhadap pasien Covid-19
Stigma terkait dengan kondisi kesehatan memang bukan hal baru. Contohnya pada penderita kusta yang kerap disebut sebagai penyakit kutukan. Atau penderita HIV/AIDS yang kerap diidentikkan dengan sebagai penyakit kotor.
BAHAYA STIGMA
Masyarakat harus melawan stigma terkait dengan kesehatan, dalam konteks ini Covid-19, karena memang sangat berbahaya. Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus bahkan menyebutkan bahwa stigma lebih berbahaya dari virus itu sendiri.
Di tingkat global, stigma terkait Covid-19 ini telah menyebabkan munculnya serangan baik verbal maupun fisik kepada orang beretnis China karena kasus Covid-19 ini bermula di Wuhan. Laporan terkait insiden ini dengan mudah bisa kita cari di link berikut.
Stigma sendiri menurut kamus bahasa Inggris Oxford berarti memperlakukan seseorang dengan cara yang membuat mereka merasa sangat buruk atau tidak penting. Inilah yang memang terjadi saat ini di beberapa tempat di Indonesia.