Lihat ke Halaman Asli

ImawNullist

Penulis Lepas Waktu

Memperingati Tahun Baru Islam Melalui Kirab Pusaka 1 Suro di Solo

Diperbarui: 10 Agustus 2024   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kirab Tahun Baru Islam di Solo (Sumber: Himawan Rifky F)

Tahun baru islam atau tahun baru hijriah menjadi salah satu momen yang dinantikan banyak orang khususnya Indonesia. Banyak orang merayakan tahun baru islam ini dengan berbagai cara mulai dari berdoa, mengikuti pengajian, dan melakukan tradisi turun temurun. Salah satu tradisi menyambut tahun baru hijriah ini adalah kirab pusaka 1 Suro di Solo. Kirab ini dilaksanakan oleh pihak Keraton Surakarta dan warga Solo sangat antusias untuk menonton kirab ini. Lantas seperti apakah kirab kebo bule kyai slamet ini ? Berikut uraiannya.

Pada Minggu kliwon malam senin legi (7/7/2024), kraton Surakarta menggelar kirab pusaka 1 Suro warsa je 1958 dalam rangka memperingati tahun baru islam. Kirab ini diikuti oleh ratusan  peserta dari keraton Surakarta dan didampingi oleh personil kepolisian. Peserta yang mengikuti kirab ini menggunakan pakaian yang berwarna hitam dan busana jawa jangkep dengan tanpa alas kaki. Dalam prosesi ini, orang yang mengikuti kirab ini akan berjalan kaki mengikuti iring iringan kebo bule dan tombak pusaka Kyai Slamet peninggalan Sunan Pakubuwana II dengan tanpa bersuara atau biasa disebut ritual tapa bisu. 

Suasana penonton kirab pusaka (Sumber: Himawan Rifky F)

Kirab  pusaka 1 Suro warsa je 1958 ini nyatanya memiliki antusias yang tinggi dari masyarakat Solo dan sekitarnya. Orang orang rela untuk bersiap siap dan menunggu di sepanjang rute kirab bahkan berjam jam sebelum kirab dimulai. Masyarakat menilai bahwa kirab ini bukan hanya sebatas hiburan saja tetapi sebuah simbol kesakralan spiritual yang dapat mendatangkan keberkahan. Muncul beberapa mitos dan kepercayaan bahwa barang siapa yang mendapatkan kotoran dan air pajamas kebo bule dapat mendatangkan hal hal baik. Maka tidak heran jika banyak orang berlomba lomba untuk menyaksikan kirab kebo bule ini.

Arak arakan kirab pusaka 1 Suro warsa je 1958 ini dimulai dari Keraton Surakarta waktu 23.00 malam hari. Kirab pusaka ini memiliki rute mulai dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ke utara melalui Supit Urang - Jl. Pakoe Boewono (Gapura Gladhag) ke utara menuju Jl. Jenderal Sudirman - ke timur melalui Jl. Mayor Kusmanto - ke selatan melalui Jl. Kapten Mulyadi - ke barat melalui Jl. Veteran - ke utara melalui Jl. Yos Sudarso ke timur melalui Jl. Brigjend Slamet Riyadi - ke selatan melalui Jl. Pakoe Boewono kembali ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh penonton ketika menonton kirab pusaka satu Suro. Bagi penonton yang ingin mengabadikan momen kirab ini, diminta untuk tidak berfoto menggunakan flash. Selain itu juga diharapkan untuk tidak menggunakan pakaian berwarna merah. Terakhir, penonton diharapkan untuk tetap menjaga jarak dan tetap diam ketika rombongan kirab sedang melintas.

Pada awalnya, kirab pusaka 1 Suro ini diadakan pertama kali pada tahun 1970 atas ide Mantan Presiden Soeharto untuk memperingati tahun baru islam. Kirab pusaka 1 Suro ini mengingatkan saat  peristiwa pada zaman kesultanan Surakarta yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Pakubuwana II. Ketika geger pecinan meletus, Sultan Pakubuwana II melarikan diri menuju ke Ponorogo untuk bertemu kakaknya Pangeran Kalipo Kusumo di lereng gunung Bayangkaki Ponorogo. Oleh Pangeran Kalipo Kusumo, Sultan Pakubuwana II dinasehati untuk bertapa di  bawah pohon  Sawoo  (Sawoo sak  kembaran)  yang  terletak  di sebelah selatan Gunung Bayangkaki.  Selama perjalananya, Sultan Pakubuwana II mendapatkan pusaka tombak Kyai Slamet yang dapat menjadi media mensejahterakan kehidupan. Namun, syarat untuk membawa tombak tersebut adalah harus diiringi dengan kerbau berwarna putih. Mengetahui hal tersebut, Adipati Ponorogo Surobroto, mencarikan kerbau yang diinginkan. Didapatilah kerbau bule putih tersebut yang kemudian Adipati Ponorogo memberikannya kepada Sultan Pakubuwana II. Dibawa kembalilah tombak dan kerbau bule itu oleh Sultan Pakubuwana II kembali menuju Kraton Kartosuro. Tidak berakhir sampai situ, Sultan Pakubuwana II sering berkeliling menggunakan tombak Kyai Slamet bersama kerbau putih setiap selasa atau jumat kliwon. Karena kerbau itu sering mengikuti pusaka tombak kyiai slamet maka masyarakat mulai menjuluki kerbau tersebut kebo bule Kyai Slamet. Sampai saat ini kerbau putih yang ada adalah keturunan dari kerbau milik Pakubuwana II. Melalui kirab  pusaka 1 Suro ini, peranakan kerbau putih tersebut diajak berkeliling bersama dengan tombak.

Kebo bule ini oleh memiliki filosofi dan makna tersendiri. Kerbau oleh masyarakat jawa khususnya petani memiliki lambang kekuatan yang digunakan sebagai alat pertanian sekaligus sumber mata pencaharian. Ditambah kerbau ini dimiliki oleh seorang raja,  dimana sebagian masyarakat percaya bahwa raja adalah kepanjangan tuhan. Maka tidak heran jika masyarakat percaya bahwa kebo bule ini dapat mendatangkan keberkahan. Masyarakat mencoba untuk mendapatkan lethong  dan air pajamas dari kebo bule yang dipercaya mendatangkan keberkahan.

Kirab pusaka satu sura ini merupakan tradisi unik dan menjadi salah satu  kekayaan kebudayaan Indonesia. Adanya kirab pusaka ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat baik itu hiburan, pelajaran sejarah, maupun makna  dari budaya ini. Semoga pergelaran kirab pusaka satu sura ini akan dilaksana secara rutin setiap tahun baru islam agar generasi muda mengenalnya.

Sumber 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline