Lihat ke Halaman Asli

IMAS TC

Karyawan Swasta

Kesedihan Tiara

Diperbarui: 28 April 2022   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Brak..., terdengar seseorang membuka pintu dengan kasar. Hafsah mematikan kompor, ia tak ingin tempe goreng tepung kesukaan Tiara gosong. Ia segera berlari ke ruang tamu.


Seorang gadis cantik duduk sofa. Sepatu masih menempel di kakinya. Matanya sembab. Rambutnya kusut. Tas sekolahnya terongok begitu saja di lantai dekat pintu.  


Hafsah segera menghampiri. Ia duduk di samping Tiara, putri satu-satunya.  "Nak, kamu menangis?" Tiara menggelengkan kepala.  


"Kalau kamu mau cerita, Ibu siap mendengarkan. Siapa tahu ibu bisa membantumu." Tiara tidak menjawab, ia kembali menggelengkan kepalanya. 

Pertanyaan ibunya malah membuat air matanya semakin deras. Sebenarnya Tiara ingin bercerita tentang apa yang dialami di sekolah, tapi ia malu dan takut ibunya marah.

"Baiklah. Ibu tidak akan memaksa. Kalau kamu sudah siap cerita, Ibu siap mendengarkan, oke?" Tiara mengangguk.  


Hafsah kembali ke dapur. Sengaja ia tidak mengikuti anaknya yang masuk ke kamar dan mengunci pintunya. 

 
Seolah tidak terjadi apa-apa, selepas adzan Ashar, Tiara pamit mengaji. Hafsah senang melihat anaknya kembali ceria. Namun, rasa penasaran pada apa yang terjadi di sekolah mendorongnya untuk membuka pintu kamar Tiara.  


Benar saja, tempat tidur yang rapi telah berubah acak-acakan. Pandangan Hafsah tertuju pada buku berwarna pink dengan gambar unicorn. Ia tahu betul, itu buku harian Tiara.  Diambilnya buku harian itu. Lembar terakhir yang berisi tulisannya basah. Rupanya Tiara menumpahkan semua yang yang dirasakannya dengan menangis.  


Aku sedih, malu, dan marah pada diri sendiri. Kenapa tanganku tidak sengaja menumpahkan air minum Hana. Seandainya itu tidak terjadi, Bu Guru tidak akan membentakku. Bu Guru memang benar, aku memang ceroboh.  
Aku benci pada Bu Guru. Dia membuatku malu, karena dia aku menjadi tontonan teman sekelas. Aku heran, kenapa tanganku ditariknya ketika aku mau membantunya membersihkan lantai.  
Aku sedih sekali waktu Bu Guru bilang tidak usah membantu, nanti malah jadi kacau semuanya. 
 


Hafsah menutup kembali buku harian. Ia bisa merasakan perasaan anaknya. Ingatannya kembali pada masa kecilnya, ketika gurunya mengatakan dia tolol hanya karena lupa memberi nama kertas ulangan. Kejadian itu dia simpan sendiri, bahkan hingga dewasa Hafsah tidak pernah menceritakan itu pada ibunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline