Dia mati.
Lelaki itu pasti mati.
Ck, ini gila!
“Gu—gue mua…,”
Bastian, salah seorang rekanku berlari pergi. Meskipun kalimatnya belum selesai, aku tahu apa yang akan dikatakannya. Apalagi kalau bukan dirinya yang juga merasakan perut bergejolak. Mual.
“Gue juga pergi ajalah.” Susul Dewantara, rekanku yang lain.
Mataku terpejam sesaat sebelum kemudian memandang ngeri ke depan. Tepat di tengah-tengah lapangan yang penuh kerumunan warga. Tampak seorang pemuda dengan pakain lusuh dan memar di seluruh tubuh, terikat tanpa daya di sebuah tiang. Ia dikelilingi kayu yang sudah tersulut api.
Pembakaran manusia hidup-hidup.
Aku menghela napas panjang. Api mulai menjilat kakinya. Ia diam, namun terlihat menahan kesakitan. Sungguh, aku ngilu melihatnya. Tak lama aku pun berbalik. Tak tega!
Namun baru beberapa langkah, aku mendengar sebuah teriakan kencang. “Dengar hai warga kampung! Saya takkan menyerah. Saya akan mencari pembunuh dan pemerkosa yang sesungguhnya. Ingat itu! Saya akan menemukannya. Dan kaliaaaan! Kalian takkan pernah tidur nyenyak selamanya.”
***