Imas Siti Liawati No. 38
“Wew, Mentari makin cantik aja tuh!”
Keningku mengerut. “Maksud lo?” tanyaku pada Dirga, sahabat karibku.
“Tuh lihat!” kepala Dirga terangkat sedikit. Ia mengarahkan pandangan lurus ke depan. Aku pun mengikutinya. Tampak deretan pedagang kaki lima memenuhi sisi kiri jalan tepat di seberang kampusku.
“Makin banyak kan pelanggannya kan? Rata-rata cowok lagi. Itu berarti pesonanya makin memancar. Makin cantik. Eh, tapi emang dia cantik sih!” sambung Dirga lagi.
Aku diam tak menanggapi. Pandanganku masih belum beralih. Satu dari beberapa gerobak pedagang kaki lima memang tampak lebih ramai. Dan aku tahu betul pemiliknya.
Seblak Mentari
Mentari belum ada sebulan bergabung dengan para pedagang kaki lima yang mangkal di seberang kampusku. Namun sejak awal kehadirannya sudah mencuri perhatian banyak orang. Khususnya kaum laki-laki. Tutur katanya yang lembut dan ramah serta wajahnya yang ayu memang menjadi nilai tambah. Selain memang karena seblak, penganan yang berbahan dasar kerupuk itu masih sangat jarang ditemui di daerahku. Jadi wajarlah kian hari kian banyak peminat yang ingin mencobanya.
“Si Mentari itu harusnya bisa jadi model ya, ketimbang cuma dagang di pinggir jalan.”
Aku menoleh dan menatap Dirga yang tengah menggelengkan kepalanya. Harus kuakui kebenaran kata-kata Dirga. Mentari memang cantik. Wajahnya yang rupawan serta kulit yang putih sebenarnya sudah bisa membuatnya menjadi seorang artis. Tetapi sepertinya nasib tidak membawanya ke sana.
“Ke sana, Yuk!” Dirga berdiri tiba-tiba. “Enak nih kayaknya makan pedas-pedas.”