Lihat ke Halaman Asli

Cinta Sang Penjaja

Diperbarui: 20 Februari 2016   11:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar diambil dari wartakota.tribbunews.com"][/caption] 

Tri menyeka  peluh yang menetes di dahinya berkali- kali. Matanya menyipit. Mencoba menghalau sinar matahari yang perih jika langsung mengenai matanya.

“Panas banget ya, Tri!”

Tri mengangguk. Membenarkan ucapan Mpok Indun, Janda  paruh baya asal Rawa Buaya. 

“Iya, Mpok!” Tri menyahut singkat. Ia menghela nafas dalam, diliriknya isi dagangannya masih banyak. Belum  pada laku. Padahal hari sudah semakin siang. Semakin terik pula matahari menyengat. Entah sudah keberapa kali ia menyeka peluh dengan punggung tangannya.

“Itu pan, kata orang- orang gobal woming, makanye bumi sekarang makin panas!  Tapi kalo kata aye sih ya gara- gara kita- kita juga. Manusie. Sombong. Serakah,” cerocos Mpok Indun kembali.

Duh, peduli amat lah, rutuk Tri dalam hati. Yang penting daganganku laku hari ini! Lagian apa juga sih yang Mpok omongin? Bikin pusing aja!

Coba lu liat Tri! Pejabat kita doyannya korupsi. Makan duit kita- kita ni. Rakyat. Kan serakah namanye. Makanye Tuhan marah. Dikasihlah panas!”  tambah Mpok Indun lagi membuat Tri menggeleng sesaat. Si Mpok kalau udah ngomong, nggak lihat keadaan.

Tapi Tri sedikit banyak mengakui ucapan perempuan baya itu. Apa yang dikatakan perempuan bertubuh tambun itu memang benar.  Manusia sekarang memang sombong dan serakah. Apalagi para pejabat. Tri mencibir, waktu kampanye aja janji ini janji itu. Mau A mau B. ujungnya setelah jadi mikirin gimana caranya duitnya kembali. Sibuk ngumpulin proyek kesana- kemari.

“Heh, malah bengong lu!”

Tri nyengir. Ia merasa tak enak saat Mpok Indun mendengus sebal, “Iya Mpok, iya!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline