Lihat ke Halaman Asli

[Kartini RTC] Impian Aida

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1429539982654001040

Oleh : Imas Siti Liawati (10)

Senyum Aida terulas saat menatap bangunan di hadapannya. Masih kokoh. Tak berubah bahkan warna catnya. Namun terasa baru, tidak kusam. Sepertinya ba’ masih rajin mengecat ulang tiap tahun, meski tak pernah mengganti dengan warna lain. Warna yang sama yang dilihatnya sejak dirinya masih kanak- kanak.

Aida mengernyit saat menyadari pintu bangunan tersebut tertutup. Entah dimana penghuninya. Entah berada di dalam atau memang sedang keluar. Sejenak diliriknya jam di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul 06.35. Masih terlalu pagi, gumamnya dalam hati. Saat seperti ini biasanya ba’ masih berada di masjid yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Sedangkan umak pasti sedang  berkutat di dapur.

Aida menghela nafasnya dalam- dalam. Segar, gumamnya dalam hati. Kesegaran udara yang dihirupnya menyalurkan kehangatan di tubuhnya, hingga tanpa sadar bibirnya melengkung sempurna. Aku merindukan ini. Udara pagi yang segar terasa nyaman. Bahkan hatinya pun terasa hangat. Rasanya terlalu lama ia tak merasakan perasaan ini. Bahagia itu sederhana, hanya melihat pemandangan pagi di kampungnya tepat di depan rumahnya saja sudah membuat hatinya membuncah karena bahagia.

Mata Aida berkeliling menelusuri setiap sudut halaman depan rumahnya. Tak berubah. Pelataran luas tempat ba’ menjemur padi masih ada. Di sebelah kanan rumah pun masih terdapat beberapa tanaman obat yang ditanam umak. Ah, sekian lama aku pergi masih tetap sama.

***

“Tak boleh! Umak tak setuju kau pergi! Kau harus tetap di rumah.”

Aida menunduk pasrah. Pupus sudah harapannya. Umak tak mengijinkannya.   Sia- sia sudah usahanya selama ini, padahal ia telah berjuang keras mendapat beasiswa tersebut. Beasiswa yang kan membawanya meraih cita- cita dan impiannya. Ini sudah pembicaraan yang entah keberapa kali, karena keputusan ibunya tetap tak berubah.

“Ingat kau tunggu tubang, Nak! Kau harus tinggal disini. Menjaga kami orang tuamu serta harta waris leluhur kita,”

Aida diam. Ia tak dapat berkata apa- apa. Kalau saja ia bisa memilih, ia tak ingin dilahirkan sebagai anak perempuan pertama di keluarganya. Karena berdasar adat, setiap anak perempuan pertama yang dalam keluarga memiliki kewajiban untuk menjaga harta peninggalan yang turun temurun serta mengurus kedua orang tua. Sedetik kemudian ia cepat- cepat menghapus pemikirannya tersebut. Tak seharusnya ia mengeluhkan hal ini. Harusnya ia bersyukur atas kehidupannya selama ini.

“Ehm, jangan begitulah, umak!” Suara ayahnya menginterupsi pembicaraan, “Biarkan Aida meraih cita- citanya. Ba’ yakin dia paham akan kewajibannya!”

Aida mendongak seketika. Ia menatap ayahnya tak percaya. Selama ini yang ia tahu ayahnya cenderung diam. Ibunya lah yang lebih dominan dalam mengatur hidupnya. Tetapi ternyata tidak hari ini, ayahnya mendukungnya.  Ayahnya benar, ia tahu kewajibannya. Dan sungguh ia tak pernah berkeberatan. Baginya menjaga dan mengurus orang tua, bukan hal yang harus ia keluhkan. Tanpa status adat tersebut pun, ia senang hati mengurus keduanya.

“Tetapi dia akan pergi, Ba’!”

“Pergi untuk kembali,” Sanggah ayah Aida cepat yang disambut dengusan gusar ibu Aida. “Tanyakan pada Aida untuk apa ia berusaha keras mendapatkan beasiswa itu?”

Belum sempat Aida menjawab, ibunya sudah berkata, “Aida tak perlu kemana- mana. Titik!”

Sesaat kemudian hening. Tak ada yang bersuara diantara ketiganya. Masing- masing sibuk dengan pemikirannya.

“Umak,” Aida bersuara pelan. “Aida minta maaf sebelumnya. Aida tak bermaksud meninggalkan tanggung jawab Aida. Hanya saja izinkan Aida untuk belajar. Meraih mimpi Aida. Aida ingin membangun desa ini. “

“Aida pasti kembali,” Tambah Aida lagi.

“Anak kita memiliki cita- cita mulia, Umak. Seharusnya kita bersyukur dan bangga akan hal itu! Kita harus mendukungnya,”

“Kalau dia pergi siapa yang menjaga kita?”

Ayah Aida terkekeh, “Kalau menjaga dan mengurus umak serta harta waris keluarga aku masih sanggup!” Selorohnya disambut delikan ibu Aida.

“Tapi…,”

“Tidak ada tapi- tapian. Biarkan Aida pergi!” Aida merasakan tatapan ayahnya kepada dirinya. “Jangan sia- siakan kepercayaan ini!”

Aida mengangguk yakin. Ia mengalihkan pandangan ke ibunya. Memastikan ibunya mengijinkan dirinya pergi.

“Selesaikan dengan cepat!”

Pendek. Singkat. Namun berarti bagi Aida. Secara tak langsung beliau sudah memberi izin. Ini sudah cukup. Aida menatap ayahnya. Ia tersenyum. Terima kasih, Ba’.

***

“Aida! “Sebuah suara menyentakkan lamunan Aida. Ia berbalik dan menemukan ayahnya berdiri tak jauh dari tempatnya.

“Aida? Kaukah itu, Nak?”

“Iya. Ini Aida, Ba’.” Jawab Aida seraya melangkahkan kaki menghampiri ayahnya. Dengan takzim, ia mencium tangan laki- laki baya tersebut.

“Alhamdulillah. Kau pulang, Nak.” Aida merasakan tubuhnya direngkuh. Ia tersenyum tipis.

“Ayo kita ke dalam, kurasa umak dan adik- adikmumu  akan senang melihatmu.”

Aida mengangguk. Ia pun sudah tak sabar bertemu ibu dan keluarganya. Langkahnya pun denga cepat mengikuti langkah ayahnya. “I’m home!”

***

Lampung, April 2015

1429540105660887679




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline