Watsap Gengs, kali ini kita bakal membahas kabar negara kita yang pokoknya menyangkut kebijakan fiskal selama masa pandemi hingga sekarang.
So… Siapa disini yang masih belum tau bedanya tugas KEMENKEU (Kementrian Keuangan) dengan BANK INDONESIA? kita awali dari tugas BANK INDONESIA dulu ni gengs, BANK INDONESIA memiliki tugas untuk mengatur persediaan uang yang beredar atau bisa disebut KEBIJAKAN MONETER, sedangkan KEMENKEU mengatur persediaan uang negara dari sisi KEBIJAKAN FISKAL. Jadi Kebijakan Fiskal ini mengatur Belanja Negara serta Pajak Negara, yang garis besarnya bakal mempengaruhi kondisi ekonomi secara makro. Kita ambil contoh dari Penggunaan Listrik nih, So pemerintah mengeluarkan kebijakan Subsidi Listrik sebesar Rp1.000/kWh (Seribu rupiah per kWh) tapi ingin menanggulangi ketimpangan ekonomi yang dimana masyarakat kurang mampu masih kesulitan untuk mendapatkan tenaga listrik dengan harga dibawah Rp600/kWh (Enam Ratus Rupiah per kWh). Trus gimana tuh caranya? Jadiii… Pemerintah akan belanja lewat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk memberi potongan harga tersebut dan sudah pasti subsidi ini untuk masyarakat yang kurang mampu. Contoh lainnya selain dari penggunaan listrik, yaitu selama pandemi, pemerintah memberikan relaksasi atau kelonggaran biaya pajak, sehingga karena pajaknya dikurangi maka karyawan bisa mendapatkan gaji lebih besar dan belanja lebih banyak. Memang dampaknya pendapatan negara jadi berkurang tapi disatu sisi bisa meningkatkan daya beli masyarakat selama pandemi.
Kita lanjut nih bahas lebih dalam lagi, sebenarnya instrumen pemerintah dalam mengatur laju ekonomi negara itu pada dasarnya ada 2 yaitu Pajak dan Belanja. 2 hal tersebut diatur menjadi satu kebijakan yang namanya Kebijakan Fiskal, Kebijakan Fiskal ini dibagi lagi menjadi 2, yaitu Expansionary Fiscal Policy dan Contractionary Fiscal Policy. Nah… Kita bahas dulu dari Expansionary Fiscal Policy nih, inti dari Expansionary fiscal Policy itu adalah Belanja Negara lebih besar dari pajak, Jadi pemerintah bakalan banyak potong pajak, kasih subsidi, juga keringanan kartu kredit dari rendahnya suku bunga untuk satu tujuan yaitu Pertumbuhan Ekonomi. Kebijakan ini bisa dibilang ideal dikala ekonomi sebuah negara harus bangkit dari keterpurukan atau disaat negara sedang mengejar pertumbuhan ekonomi yang agresif. Sebaliknya, Contractionary Fiscal Policy memiliki inti bahwa Pajak yang akan lebih besar dibandingkan Belanja Negara, pemerintah akan menaikkan pajak dan suku Bunga serta memotong subsidi, pokoknya segala sesuatu yang meresahkan masyarakat agar bertujuan untuk melawan inflasi dan apabila ada resiko resesi atau krisis, jadi mau tidak mau ekonominya harus direm.
Kalo ngomongin masalah inflasi.. Btw, negara kita kena inflasi gak sih? Nah.. buat teman-teman yang belum tau nih, jadi negara kita kemarin sempat mengalami inflasi yang cukup besar di bulan juni lalu. Yang katanya inflasi dibulan Juni 2022 kemarin jadi inflasi yang tertinggi dari inflasi sebelum-sebelumnya dinegara kita, tapi Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa inflasi Indonesia pada Juni 2022 yang tercatat 4,35% masih tergolong moderat ketimbang negara lain seperti Amerika yang berada di 8,6% pada Mei 2022 kemarin dan itu termasuk inflasi tertinggi selama 4 dekadenya di Amerika, sehingga The Fed menaikkan suku bunga. Bagi yang belum tau The Fed, The Fed merupakan kumpulan kartel perbankan swasta mampu menjelma menjadi bank sentral AS yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Selain inflasi, ada juga yang namanya Deflasi ialah sebuah kondisi saat harga barang maupun jasa menurun secara drastis hingga menyebabkan nilai mata uang bertambah. Disatu sisi memang deflasi ini menguntungkan untuk masyarakat sebagai konsumen, tetapi bagi pengusaha dan negara deflasi dapat membawa keadaan ekonomi ke kondisi yang berbahaya. Mengapa berbahaya? Karena pengusaha di bidang barang dan jasa akan mengalami kerugian karena hasil penjualan yang tidak bisa menutupi biasa produksi dan biaya operasional, maka dari itulah tujuan adanya kebijakan fiskal dengan mengelola dan membuat strategi yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi ekonomi.
Trus ada kabarnya bahwa pemerintah bakalan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10% pada tahun 2023 dan 2024, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementrian Keuangan (KEMENKEU) Febrio Kacaribu mengungkapkan alasan pemerintah melakukan hal tersebut dikarenakan isu Kesehatan masyarakat dan Dana Bagi Hasil (DBH), pernyataan tersebut akhirnya mengundang kritik atau protes salah satunya dari anggota komisi XI DPR Mukhamad Mishbakhun. Pasalnya, jika mengutip dari tabel indikator capaian Kesehatan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2023 yang disusun KEMENKEU persentase penduduk usia 10-18 tahun yang merokok pada tahun 2020 menurun menjadi 3,8% dari yang sebelumnya di angka 7,2% pada tahun 2013. Misbakhun juga memperkuat argumennya dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) data tersebut menunjukan prevalensi perokok pemula yang turun drastic dengan data-data itulah misbakhun menganggap argument BKF tentang kenaikan CHT untuk menurunkan prevalensi anak dan remaja yang merokok sudah tidak relevan ia justru mencurigai adanya agenda asing dibalik kenaikan CHT ini.
Lalu pada tanggal 15 November 2022 kemarin Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara resmi membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, di The Apurva Kempinski Bali, Kabupaten Badung, Bali. Jadi bagi teman-teman yang belum tau apa tujuan dibukanya KTT G20, tujuannya adalah untuk mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif. Nah lalu apa saja nih isu-isu yang dibahas dalam G20? Yang pertama ialah Finance Track, Jalur pembahasan dalam forum G20 yang fokus pada isu keuangan, meliputi Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, Kebijakan Rill, Investasi Infrastruktur, Regulasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Perpajakan Internasional. Yang kedua yaitu Sherpa Track, Jalur pembahasan dalam forum G20 dibidang-bidang yang lebih luas diluar isu keuangan, meliputi Antikorupsi, Ekonomi Digital, Lapangan Kerja, Pertanian, Pendidikan, dan Urusan Luar Negeri, Budaya, Kesehatan, Pembangunan, Lingkungan, Pariwisata, Energi Berkelanjutan, Perdagangan, Investasi, Industri, dan Pemberdayaan Perempuan.
Lalu ujung dari pembahasan ini lain tidak bukan ialah Stagflasi, Stagflasi adalah kondisi dimana ekonomi bertumbuh dengan lambat sementara inflasi dan angka penggangguran meningkat, dalam kurun waktu yang lama ini berbahaya bagi suatu negara. Karena kalau inflasi tinggi akibat pasokan yang terbatas disertai dengan peningkatan angka pengangguran, ibaratkan nasi cuma mampu beli 1 piring sedangkan ada 10 mulut yang harus dikasih makan, lalu solusinya apa? Kalau sudah berada dalam kondisi seperti itu satu-satunya jalan keluar hanyalah resesi. Karena resesi itu ibaratkan HP yang direset ulang sehingga kembali ke setelan pabrik, dimana ekonomi nanti akan mengalami penurunan minus maka disaat itulah akan terjadi yang namanya deflasi atau penurunan barang dan jasa. Juga pada titik ini akan terjadi penyesuaian antara harga barang dan daya beli masyarakat, biasanya jika sebuah resesi selesai ekonomi akan kembali pulih lebih cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H