Setiap orang memiliki titik jenuh dalam pekerjaan. Kejenuhan bisa disebabkan oleh banyak hal seperti, pendapatan yang tidak berubah, aktivitas kerjaan yang itu-itu saja, jenjang karier yang stagnan, hingga mengalami ketidakcocokan dengan teman sejawat maupun pimpinan.
Saya termasuk orang yang pernah mengalami kejenuhan kerja tingkat tinggi hingga berkeputusan akan resign. Bersyukur, tidak jadi!
Lo, kok bersyukur? Hi hi hi ini jejak di buku harianku:
Diary, 2013
Membuat rancangan kerja itu melelahkan. Namun kalau sudah jadi rancangan dan prospek baik untuk bisa dipraktikkan itu senangnya bukan kepalang.
Sayangnya tidak demikian di dunia pekerjaan saya. Mau tidak mau saya harus selalu tunduk pada aturan yang membelenggu kreativitas ku.
Aku sebenarnya lebih suka bekerja daripada mendiskusikan pekerjaan. Aku juga lebih suka action kerja dari pada sekadar menyusun program dan laporan kerja.
Hal itu sepertinya memicu saya masuki titik kejenuhan kerja. Bagaimana tidak! Saya butuh bukti perubahan atas kerja, sementara lembaga tempat saya bekerja sepertinya lebih suka setumpuk administrasi yang tertata rapi.
Resign! Resign! Ya, Resign!
Tapi, aduh! Istri memberikan pertimbangan tidak usah resign. Nanti, kerja apa? Nanti, kuliah anak-anak bagaimana?
Begitulah keresahan hati seorang istri. Gaungnya tak pudar berhari-hari.