Harga pangan saat ini terus melonjak di pasaran. Sebagian petani mengalami gagal panen karena tanaman pangannya terkena bencana atau dampak perubahan iklim. Di mana-mana orang mengeluh tentang pangan.
Ketika rawan pangan mengancam, saya berpikir bahwa kita mungkin harus mencari pangan-pangan tradisional untuk mengkonsumsinya. Di Timor, Nusa Tenggara Timur, pada zaman dulu saat orang belum mengenal nasi, mereka memasak kacang liar beracun untuk sekedar mengisi perut. Masakan itu namanya kot pesi.
Kot pesi merupakan rebusan kacang kratok liar (Phaseolus lunatus). Nama lokalnya dalam Bahasa Dawan yaitu koto atau kot fui. Orang mengambil kot fui yang melimpah di hutan lalu merebusnya untuk menjadi makanan. Merebus kot fui biasanya hingga 12 kali rebus namun ada yang hanya 8 atau 10 kali.
Setelah air rebusan mendidih, harus meniriskan dan mengganti airnya lalu merebus lagi. Begitu seterusnya hingga 12 kali rebus. Proses meniriskan air dalam Bahasa Dawan adalah pesi sehingga masakan ini memiliki nama kot pesi atau kratok tiris. Merebus kratok hingga belasan kali untuk mengeluarkan kandungan racun dalam kacang ini.
Merebus koto atau kratok membutuhkan waktu yang lama. Membutuhkan juga air dan kayu bakar yang banyak. Orang yang memasak kot pesi biasanya menghitung jumlah rebusan dengan memasukkan batu kerikil kecil di dalam kaleng atau suatu wadah.
Setelah melalui proses rebus yang panjang, kot pesi pun siap saji. Teksturnya lembut dan halus namun rasanya agak hambar. Untuk memberi rasa, harus menambahkan gula, garam, sambal atau bumbu lain sesuai selera.
Pada zaman penjajahan dan pergolakan komunis pada 1965, saat sulit memperoleh pangan, orang Timor bertahan hidup dengan makan kot pesi sebagai makanan pokok.
Sekarang ini hanya orang di daerah pinggiran atau pelosok yang membuat kot pesi. Di beberapa pasar tradisional kadang ada yang menjual masakan ini.
Salah satu pantangan saat makan kot pesi adalah jangan memakannya bersamaan dengan singkong karena katanya bisa keracunan.
Inilah sekilas tentang kot pesi, salah satu pangan lokal nonberas yang bisa menjadi alternatif di tengah lonjakan harga pangan.