Lihat ke Halaman Asli

Imansyah Rukka

Kemuliaan Hidup bukan hanya sekedar rutinitas namun bagaimana bisa mermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta

Lahan Pertanian Itu Kini Berubah Menjadi Padang Golf

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_222293" align="aligncenter" width="500" caption="Saya, Daeng Siama, Daeng Esa serta paling kanan Daeng Unjung adalah petani binaan di areal pertanian yang sebentar lagi akan di alih fungsikan menjadi kawasan satelit salah satunya adalah padang golf"][/caption] Alih fungsi lahan pertanian dan persawahan terus terjadi di Sulawesi Selatan. Sedikitnya sekitar 350 hektar lahan pertanian produktif milik masyarakat petani di empat desa masing-masing Desa Pallantikang, Desa Pattalassang, Desa Panaikang serta Desa Paccelekang Kecamatan Pallantikang Kabupaten Gowa akan di konversikan menjadi Padang Golf bertaraf Internasional. Namun sangat di sayangkan bahwa kawasan yang telah dibangun padang golf itu berada dalam kawasan irigasi teknis yang di gunakan oleh para petani dalam mengairi lahan pertanian dan sawah milik petani di sekitarnya. Sangat menyedihkan memang ketika melihat fenomena alih fungsi lahan yang terbilang kontroversi. Sebagai orang yang aktif di lembaga swadaya masyakarat dalam bidang pertanian tentunya saya melihat permasalahan ini sebagai sebuah ketimpangan yang sangat besar telah di lakukan oleh pemerintah setempat. Padahal penerapan Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang disahkan pada 14 Oktober 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sangat jelas memberikan implikasi serius bagi nasib lahan pertanian pangan di Indonesia. Sangat jelas isi dalam undang-undang tersebut terkait fakta temuan saya di lapangan seputar alih fungsi lahan yang terjadi di kabupaten Gowa. Seperti yang di paparkan oleh salah seorang petani binaan dari LSM Petani Center yang bernama lengkap Abdul Rasyid yang lebih akrab disapa Daeng Unjung, Bahwa fenomena alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian yang terjadi di empat desa di Kecamatan Pallantikang tersebut di sebabkan oleh berbagai tekanan yang ada, terutama terkait dengan daya tarik nilai ekonomi lahan nonpertanian menjadi kawasan komersial bisnis, sehingga lahan pertanian menjadi makin ter-alihfungsikan. Daeng Unjung menambahkan belum lagi jika di lakukan klarifikasi di lapangan bahwa pengambil alihan lahan para petani yang kemudian di fungsikan sebagai padang golf adalah semakin menyengsarakan para petani yang selama ini hanya bergantung pada usaha pertanian yakni dengan menggarap lahan mereka untuk bercocok tanam. Mereka lakukan itu untuk melangsungkan hidup mereka sekaligus memenuhi kebutuhan keluarganya. Begitu pula yang di alami beberapa petani di Desa Pallantikang Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa ini yang bernama Daeng Esa dan Daeng Siama, begitu panggilan akrab mereka. Dalam kunjungan lapangan ini saya ditemani oleh Daeng Unjung yang kebetulan salah seorang Ketua Gapoktan di Desa Pallantikang ini mempertemukan saya dengan rekannya sesama petani yakni Daeng Esa dan Daeng Siama tersebut. Mereka bertiga ini adalah anggota dari kelompok tani “sikatutui” yang dikenal sangat kritis. Kebetulan yang mengalami persis alih fungsi lahan di Desa itu salah satunya adalah Daeng Esa, karena semua tanahnya yang selama ini ia gunakan untuk bertani telah di ambil oleh pemerintah untuk di jadikan kawasan padang golf. Daeng Esa bercerita banyak seputar pembebasan tanahnya itu, ia sebenarnya berat untuk melepas tanah tersebut. Dikarenakan harganya yang masih sangat rendah sesuai dengan nilai objek pajak yang ada saat itu. Namun, terlepas dari masalah harga tanah, Daeng Esa juga menjadi takut karena ada dari pihak-pihak yang mengatakan bahwa kalau Ia tidak melepas tanahnya maka dirinya akan berurusan di pengadilan. Akhirnya, tanpa pikir panjang lagi terpaksa Daeng Esa melepas tanah miliknya semua, tanpa ada lagi yang tersisa sama sekali. Padahal tanah tersebut menurut pengakuannya, dari situ ia menghidupi keluarganya. Dan yang paling menyedihkan lagi, saat ini Daeng Esa terpaksa menyewa lahan untuk bercocok tanam demi melangsungkan hidupnya bersama keluarganya. [caption id="attachment_222298" align="aligncenter" width="500" caption="Inilah Areal lahan produktif milik para petani yang di alih fungsikan untuk pembangunan padang golf bertaraf internasional"][/caption] [caption id="attachment_222306" align="aligncenter" width="500" caption=" Padang Golf Padivalley ini adalah sebelumnya adalah lahan pertanian yang di alih fungsikan"][/caption] [caption id="attachment_222310" align="aligncenter" width="500" caption="Lahan pertanian milik petani di Kecamatan Pallantikang Kab. Gowa ini masih termasuk kawasan pembangunan padang golf"][/caption] Apa yang dialami oleh Daeng Esa yang dalam kesehariannya hanya sebagai seorang petani ketika lahan pertanian dan persawahannya telah dialih fungsikan ke lahan nonpertanian adalah merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan kedaulatan pangan. Daeng Esa sebagai seorang petani yang telah berjuang membantu memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyat di negeri agraris ini. Hal inilah memberikan sebuah refleksitas bagi saya, sekaligus memberikan sebuah implikasi yang sangat serius bahwa sektor pertanian begitu bermakna terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, dan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang kehidupannya bergantung pada lahan pertanian yang di milikinya. Dengan lahirnya Undang-Undang No 41 Tahun 2009 merupakan pengaturan lebih lanjut dari UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Wilayah dengan mengaitkan kasus alih fungsi lahan di Kabupaten Gowa Bahwa seharusnya Pemerintah Daerah setempat dengan penuh kepekaan melihat bahwa ketersediaan lahan bagi para petani di pedesaan sebagai usaha bercocok tanam adalah merupakan keharusan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan secara nasional. Di sisi lain pula pemerintah daerah setempat harus melihat secara filosofis bahwa lahan pertanian yang dimiliki para petani selama ini berperan sangat sentral bagi masyarakat di pedesaan yang terbilang agraris ini. Sebab, lahan pertanian di samping memberikan manfaat dan nilai ekonomis, lahan memiliki nilai sosial bahkan tidak lepas dari nilai-nilai spiritualis. Melihat akumulasi permasalahan seputar alih fungsi lahan adalah bagaimana menekan angka terhadap tingginya tekanan terhadap sumber daya lahan pertanian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Tekanan itu berupa meningkatnya jumlah penduduk sekitar 1,34 persen per tahun, sementara luas lahan yang ada relatif tetap. Hal itu menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumber daya lahan dan air akibat banyak petani di pedesaan kehilangan lahan akibat teralih fungsikan lahan mereka ke lahan non pertanian. Sebagai gambaran, luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Sulawesi Selatan hanya 0,6 hektar per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektare) meningkat dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada 2003, dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 persen per tahun. Kembali pada kasus alih fungsi lahan yang terjadi di beberapa Desa di Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa tersebut selain makin menyempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, terjadi juga persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan, terutama antara sektor pertanian dan nonpertanian. Dalam kondisi riil seperti apa yang dialami oleh Daeng Esa, ketika lahan miliknya yang telah diambil oleh pemerintah dan Ia hanya berpatokan pada lahan pertanian yang di sewa dalam arti sewa lahan. Maka sektor pertanian lambat laun terus tergusur dan tergantikan oleh sektor lain seperti industri dan perumahan. Hal itu terlihat dari makin meningkatnya laju besaran alih fungsi lahan pertanian dari tahun ke tahun. Catatan yang ada bahwa alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi lahan nonpertanian dari tahun 1993 hingga tahun 2002 diperkirakan mencapai 330 ribu hektar atau setara dengan 110 ribu hektar per tahun. Seruan Kepada Pemerintah Dalam mengantisipasi alih fungsi lahan agar tidak terjadi lagi di Sulawesi Selatan, ada beberapa poin penting yang perlu di perhatikan secara serius sebagai seruan kepada Pemerintah Daerah setempat dalam konteks perlindungan lahan pertanian sebagai penghasil pangan utama. Pertama, sudah seharusnya mulai sekarang pemerintah melakukan upaya perlindungan lahan pertanian pertanian produktif sebagai penghasil pangan maupun lahan pertanian pangan yang sudah ada agar fungsinya berkelanjutan seperti yang di amanatkan melalui Undang-Undang No 41 Tahun 2009. Begitu pula dengan lahan-lahan potensial yang masih banyak di jumpai di wilayah Sulsel yang mana berfungsi sebagai lahan cadangan juga harus mendapat perlindungan yang nyata berdasarkan UU perlindungan lahan yang telah saya disebutkan diatas . Dengan demikian, pada masa yang akan datang ada jaminan dan kepastian hukum untuk melakukan perluasan lahan pertanian. Hal ini sebagai upaya dalam mengantisipasi kehilangan hak penguasaan lahan bagi petani di pedesaan sekaligus mangatasi dampak pertambahan jumlah penduduk yang berimplikasi pada pemenuhan untuk kecukupan kebutuhan pangan bagi rakyat melalui peningkatan produktifitas pertanian. Yang kedua, masih banyaknya lahan terlantar yang di jumpai di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan adalah merupakan salah satu peluang dan potensi yang besar untuk bisa dijadikan lahan yang produktif untuk di manfaatkan semaksimal mungkin dalam usaha pertanian dan persawahan. Karena itu, sudah saatnya pemerintah secara serius memperhatikan fenomena lahan telantar dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Sosialisasikan kebijakan ini sebagai angin segar kepada masyarakat pedesaan khususnya kaum tani jika agar kebijakan ini bisa di implementasikan dengan baik. Pemanfaatan lahan terlantar harus bisa terus di galakkan oleh pemerintah sehingga dapat menekan jumlah angka lahan terlantar yang terus meningkat. Pemanfaatan lahan terlantar adalah merupakan bentuk kepedulian akan keseimbangan sumber daya alam yang mempunyai nilai ekonomi, sosial, dan spiritualisme. Dalam momentum pemanfaatan lahan telantar ini adalah upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sangat tepat sekali untuk dikaitkan dengan pelaksanaan agenda reformasi agraria. Reformasi agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria khususnya lahan pertanian. Reformasi agraria diyakini akan memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat khususnya para petani. Lebih penting lagi, upaya perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan tidak hanya terbatas pada perlindungan secara fisik terhadap lahan pertanian dari ancaman dan gangguan alih fungsi lahan. Upaya tersebut juga diarahkan untuk mengembangkan lahan agar fungsinya dapat lebih optimal dan lebih produktif untuk menunjang peningkatan produksi secara signifikan sehingga dengan sendirinya tingkat kesejahteraan para petani juga mengalami peningkatan yang berarti. Khusus kepada para petani yang berada di pedesaan sebaiknya diberikan perlindungan dan pemberdayaan secara khusus, bahkan para petani selayaknya diberikan berbagai insentif, baik insentif fiskal maupun nonfiskal. Dengan demikian, terjadi prinsip keselarasan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara yang dapat diakomodasi dalam undang-undang ini. Pemerintah melalui Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 dengan segala instrumen yang di milikinya haruslah diimplementasikan dengan baik di seluruh pelosok negeri ini, sehingga substansi yang ada dalam UU ini bisa menjadi muatan, mulai dari rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), rencana pembangunan jangka pendek, rencana tahunan baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota melalui rencana kerja pemerintah (RPP) sampai ke peraturan daerah (perda). Hal ini terkait dengan rencana tata ruang wilayah yang akan di lakukan pemerintah daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/ kota. Sebagai penutup dalam tulisan ini, harapan saya kepada pemerintah bahwa setelah diberlakukannya undang-undang tersebut terkait alih fungsi lahan sebagai persoalan yang sangat mendasar di sektor pertanian, sangat diperlukan sikap konsistensi dari pemerintah sebagai langkah strategis untuk mengawal implementasi UU tersebut secara nyata di lapangan agar tidak terjadi tumpang tindih kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Diperlukan sosialisasikan secara berkesinambungan ke seluruh lapisan masyarakat dan para pemangku kepentingan yang ada (stake holder) agar substansi dari UU tersebut benar-benar dipahami yang selanjutnya di taati untuk di laksanakan. Pemerintah sebaiknya melibatkan elemen yang ada seperti LSM, Ormas untuk melakukan pengawalan dan pengawasan agar undang-undang ini dapat dilaksanakan dan ditegakkan secara konsisten. Sehingga ke depannya, permasalahan fenomena alih fungsi lahan tidak akan terjadi lagi di negeri agraris ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline