Lihat ke Halaman Asli

Imansyah Rukka

Kemuliaan Hidup bukan hanya sekedar rutinitas namun bagaimana bisa mermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta

"Pangeran Petani" Untuk Negeri Agraris

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_196422" align="aligncenter" width="220" caption="Monumen Tugu Tani adalah merupakan simbol kekuatan petani"][/caption] Kisah seorang petani yang sedang bersusah payah untuk meningkatkan hasil padinya. Berbagai cara ia tempuh agar padi yang di hasilkannya pada saat panen tiba bisa meningkat secara signifikan. Hari berganti hari, berbulan bulan, secara terus menerus ia terus berpikir bagaimana bisa menemukan sebuah metode yang bisa membuktikan bahwa apa yang telah ia lakukan dalam usahataninya selama ini terbukti bisa manjur. Paling tidak ia berpikir ada metode lain atau cara yang tepat, yang tentunya tidak merusak keseimbangan ekosistem yang ada. Mungkin si petani ini paham benar bahwa lahan pertanian saat ini sudah tidak seperti dulu kala yang semuanya masih berkutat pada alam. Belum bergantung pada teknologi-teknologi seperti sekarang ini. Hingga suatu hari Si-Petani Muda itu merasakan kelelahan setelah seharian penuh bekerja mengolah lahan sawahnya yang siap memasuki musim tanam. Ia tiba di halaman rumahnya duduk dan beristirahat sejenak di bale bambu. Ia merebahkan badannya sambil melanjutkan imajinasinya itu. wah..! ternyata petani ini begitu penasaran ingin segera menemukan konsep atau metode apa yang harus ia wujudkan dalam dunia pertanian yang digelutinya selama ini. Tak pernah ada rasa puas untuk terus berkesperimen dalam kehidupan. Begitu khusyuknya ia berimanjinasi, akhirnya ia terlihat tertidur. Mungkin saja antara tidur dan tidak. Ia sepertinya bermimpi. Dalam kisah mimpinya itu ia bertemu dengan seorang Petani tua renta berpakaian khas petani yang compang camping dengan topi caping yang melekat di kepalanya serta kaki yang dilumuri lumpur. Ia bersama Petani Tua itu berada di sebuah daerah pertanian yang sangat subur dan hijau. Keasriannya sama dengan keceriaan petani-petani yang sedang terlihat bekerja secara gotong royong menanam padi. “Hai Pak Tani Tua”, mengapa aku ada disini?” Tanya si-Petani muda itu. “Bukankah selama ini kamu ingin menemukan sebuah jawaban dari apa yang selama ini kamu cari?”, Aku-lah yang kamu cari !”, tegas Petani Tua itu dengan wajah sinar yang penuh kekaguman. “Sekarang lihatlah disana..”, petani-petani itu bercocok tanam dengan penuh santun, ramah, sopan serta menjunjung tinggi etika alam yang ada di sekitarnya. Mulai dari mereka meninggalkan rumahnya hingga sampai di lahan mereka, dijalaninya dengan penuh penghayatan. Mereka mengerti persis bahwa lahan pertanian adalah bagian dari alam semesta sebagai satu kesatuan yang ada dalam diri mereka. Sehingga mereka harus tetap menjaga keseimbangan itu tanpa merusak apa yang telah di anugrahkan oleh Tuhan semesta alam. Nah, petani itu terus menerus bergerak melakukan cocok tanam apa saja yang mereka mau tanam, agar tetap menjaga serta memberikan keseimbangan dan kelestarian di lahan pertanian mereka sendiri”.

“Lihat sekali lagi pemandangan itu, menggambarkan sebuah ekosistem yang sangat selaras dan seimbang. Tak satupun terlihat ada yang terusak oleh mereka. Burung-burung berkicau yang terbang kesana kemari, kumbang dan kupu-kupu yang beraneka warna dengan indahnya bermain di atas pematang yang tersusun rapih dan hjau, air sungai yang mengalir begitu jernih menuju lahan persawahan, areal persawahan yang begitu hijau dan subur, petani –petani baik tua maupun muda juga anak-anak mereka dengan penuh semangat bekerja tanpa ada terlihat di wajah mereka kemurungan dan ketidak pastian”. Jelas petani tua itu panjang lebar.

Si-Petani setengah baya itu hanya diam mengangguk-anggukan kepalanya, sambil mendengar wejangan dari Petani Tua itu yang sangat menyentuh hatinya.

“Sekarang apa yang sebaiknya saya lakukan Pak Tani Tua?” Tanya Si-Petani Muda Itu.

“Kenalilah dirimu, niscaya kamu akan mengenal apa yang kamu cari selama ini dan ketahuilah Petani Muda”, bahwa sebenarnya di dalam dirimu tersimpan benih kemuliaan yang tak ternilai harganya. Temukanlah dengan “rasa” kemuliaan itu. Lalu nyatakan setiap saat dimanapun engkau berada dalam kehidupanmu sehari-hari. Itulah sumber dari segala sumber kehidupan yang merupakan titik atau poros dari seluruh yang ada di jagad semesta raya ini. Untuk urusan duniamu sebagai petani, gunakanlah kemuliaan itu sebagaimana kamu tertuntun untuk melakukannya dalam menjaga kelestarian alam. Di balik kemuliaan itu tersirat kaidah-kaidah alam yang wajib untuk kamu pahami. Setelah kamu pahami akan terpancar “cahaya aura” sebagai penerang dalam gelapnya kehidupan manusia di muka bumi, yang tidak lagi peduli dengan sekitarnya.

“Alam semesta ini, sangat membutuhkanmu kehadiranmu !” Pastinya kamu sudah paham, bahwa ketika lahan, udara, tanah dan air telah mengalami pencemaran, hewan-hewan dan mikroorganisme dengan beragam spesis dan jenisnya telah punah akibat berbagai kebijakan yang salah arah, di tambah lagi dengan sikap pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Dan semua yang telah menyimpang dari etika dan estetika yang ada. Mereka selalu menggunakan akal, pikirannya sebagai ilmu pengetahuan yang bisa memakmurkan bumi agrarisnya tanpa pernah paham dengan potensi yang tak ternilai harganya yang ada dalam diri mereka. Sekiranya orang-orang itu paham, maka inti dari persoalan itu akan mereka temukan. Itulah orang-orang yang saat ini berjalan dan melakukan aktifitasnya ibarat mereka berjalan hanya dengan darah dan dagingnya”. Imbuh Pak Tani Tua itu secara rinci.

“Baiklah Pak Tani Tua”, kalau begitu apa yang saya cari selama ini telah saya temukan. Harus saya katakan secara jujur bahwa apa yang telah engkau jelaskan tadi secara panjang lebar adalah sebuah realitas yang terjadi di negeri agraris ini. Dimana-mana petani sebagai kaum yang selalu tertindas. Selalu terbodohi oleh kepentingan-kepentingan yang sesaat. Berbagai kebijakan yang saya lakukan bukannya memberi solusi yang untuk membawa mereka menuju perubahan, sebaliknya malah menggiring menuju kemiskinan”. Jelas Si-Petani Muda ini.

“Tugasmu saya rasa sudah cukup, sekarang mulailah dari dirimu sendiri. Lalu kemudian keluargamu, lingkunganmu dan seterusnya. Bantulah para petani-petani seperti yang kamu jelaskan tadi”. Masuklah dan berbaurlah dengan mereka sebagaimana yang kamu melakukannya sendiri sebagai seorang petani. Selalulah mengkaji kearifan-kearifan lokal yang pernah diwariskan oleh para pendahulu-pendahulumu. Dan satu hal. Jangan pernah merasa takut dan khawatir dalam menjalankan tugas mulia ini. Bentuklah jiwa ragamu semaksimal mungkin sebagai seorang petani yang memiliki jiwa “kesatria” atau pemberani. Sebagai seorang petani yang difungsikan menegakkan kebenaran dengan kekuatan keyakinan yang utuh. Karena dibalik itu semua, Tuhan senantiasa selalu bersamamu. Yakinkan itu!"

Setelah bertemu dengan Si-Petani Muda itu, Pak Tani Tua itu langsung itu beranjak menuju ke arah selatan. Si-Petani muda ini terus memperhatikannya. Tak lama kemudian Pak Tani Tua itu menghilang entah kemana. Si-Petani muda itu langsung terbangun dari tidurnya di bale bambu. Ia sadar bahwa ternyatakejadian tadi hanyalah sebuah mimpi.

Menelisik cerita tersebut, ada sebuah pelajaran sederhana namun sangat berharga untuk bisa dipetik dan sangat berguna dalam dunia pertanian kita di masa yang akan datang. Namun saya lebih melihat pada sisi filosofis dan psikologis petani itu sendiri. Pertama, petani harus dipandang sebagai manusia yang memiliki derajat dan martabat yang harus diperhatikan sebagai “main stream” dalam sebuah sistem pertanian. Subjek inilah yang harus digali dan disadarkan kepada pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang ada bahwa permasalahan di pertanian di negeri ini terletak dari berbagai kebijakan pertanian yang tidak tepat melalui pengekangan individu petani sebagai mahkluk sosial yang bebas dalam menentukan nasib dalam usahataninya.

Kedua, ketidak pahaman Pemerintah dan pemangku kepentingan pertanian, akan arti pentingnya berusaha tani dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah alam. Fakta dilapangan harus kita akui, bahwa pemerintah telah menggaungkan isu “go organic” atau go green” atau apalah, tetapi kenyataannya juga tidak memberikan dampak yang signifikan kepada petani itu sendiri, padahal segala sumber daya mereka telah dikeruk habis. Malah yang saya dengar program itu dijadikan bisnis empuk bagi sebagian kalangan. Yakni dengan ramai-ramai membuat pupuk organik dengan dalih “back to nature”. Jika bagus dan berhasil, why not..? tapi alam itu tak bisa bohong.

Ketiga, apa yang menjadi benang kusut dalam sistem pertanian kita selama ini, memberikan jawaban bahwa sebenarnya petani sebagai subjek pelaku di negeri agraris ini memerlukan sosok dan figur yang sungguh-sungguh peduli pada mereka. Mereka (kaum tani) menginginkan ada sosok yang setiap saat bisa membela hak-hak mereka yang selama ini dikebiri. Dengan begitu, apa yang mereka lakukan adalah sebuah penyemangat bahkan penyeimbang dalam kehidupan mereka yang hanya mengandalkan dari pertanian. Juga yang terpenting mereka perlu diberikan pemahaman yang luhur bagaimana bercocok tanam dengan kembali ke alam. Semuanya akan mengikuti jika figur itu hadir ditengah mereka.

Dan Yang Terakhir, petani itu adalah manusia sebagai makhluk paling mulia di mata Tuhan. Negeri yang juluki agraris ini tak akan pernah “jaya” jikalau petani sebagai mahkluk mulia ini terus menerus di kekang tanpa memberikan kesempatan menemukan potensi yang ada dalam dirinya. itulah kemuliaannya sebagai sebuah kecerdasan spiritual yang harusnya mereka pahami. Jika ini hal ini akan terjawab dan diwujudkan, maka percayalah sebutan negeri ini sebagai negeri agraris akan kita posisikan kembali.

Itulah beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dalam tulisan sederhana ini. Bagi teman-teman pembaca termasuk para petani yang selalu haus akan informasi-informasi, kajilah ulasan ini secara arif dan bijak dari berbagai sudut pandang masing-masing. Sehingga akhirnya dipertemukan ke sebuah titik koordinat yang merupakan titik kebenaran sejati yang ada dalam diri kita masing-masing. Sesungguhnya, itulah pangeran yang saya simbolkan sebagai petani yang bisa memberikan kemakmuran dan kejayaan di negeri agraris ini***.

Istilah “Pangeran Petani” di konotasikan sebagai sebuah simbol ketokohan seorang petani yang benar-benar bisa memberikan keseimbangan dalam menyelesesikan semua persoalan yang ada ketika persoalan seputar petani tak pernah usai di negeri agraris yang meredeka ini.

***Wallahu walam bizhawab***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline