Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
-Kahlil Gibran
Apa anda ikut berbahagian setelah membaca ceritaku ini? Aku harap begitu. Karena aku ingin menceritakan kebahagiaanku. Kebahagiaan sehari-hari, mungkin juga remeh-temeh, kebahagiaan ketika dihadapanku, mungkin juga dalam hirup nafasku, mengalir seperti sungai bening menyegarkan untuk sampai pada muara.
Yang ingin aku ceritakan tidak jauh dari rumahku, dari keluargaku. Rumah yang berdiri di desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Desa yang ibaratnya satu langkah saja sudah masuk kota Malang. Di depan rumah berdiri bangunan berbentuk joglo. Tidak terlalu luas. Empat meter kali enam meter, kalau dipanjangkan dengan halaman tetangga (masih saudara) menjadi 10 meter. Di joglo ini sehari-hari tidak ada sepinya.
Setiap hari Senin sampai Jum'at ada anak-anak bimbingan belajar. Hari Sabtu dan Minggu ada kegiatan anak-anak Kelompok Bermain dan Belajar "Pelangi" (KBB-Pelangi). Kalau hari Minggu pagi ada ibu-ibu latihan menjahit. Anak-anak muda sering "nongkrong" untuk kegiatan kepemudaan. Kerap juga dipakai diskusi tentang desa.
Kaitanya dengan kegiatan anak-anak dan ibu-ibu itu, diam-diam aku merasa kagum pada anak-anak dan istri. Istri lebih banyak berperan sebagai pembimbing. Anakku yang pertama Annisa (Icha) terlibat dalam banyak kegiatan anak-anak dan ibu. Juga anakku yang kedua Salsabilah (Lala), membantu kakak dan ibunya.
Icha lebih banyak mengurusi anak-anak untuk bimbingan belajar, dan melatih menari. Ia membimbing anak-anak untuk belajar bagi yang tidak bisa ditanganai ibu dan adiknya. Itu pekerjaan yang tidak terlalu sulit. Karena, ia pasti menguasai pelajaran anak-anak SD. Icha usianya 20 tahun, mahasiswi perguruan tinggi negeri di Malang. Siapa saja yang datang untuk belajar bisa ia tangani. Tidak ada motifasi sebagai pekerjaan, ia mencurahkan diri untuk membantu anak-anak.
Yang membuat aku kagum dan bahagia, ia juga melatih anak-anak menari. Ia mengajari mereka dengan sabar, memberi contoh gerakan, dan sesekali memperbaiki gerakan yang salah. Ia bukan seorang penari profesional, bahkan belajar menari formalpun tidak pernah.
Cobalah dirunut, ia mahasiswi akutansi, sekolah SMA-nya sekolah agama (MAN-Madrasah Aliah Negeri). Bahkan, ketika SD kegiatanya di bidang olah raga renang. Ia ikut sebuah club renang di Malang. Sering lomba keluar kota tiga sampai lima hari. Lantas, dimana ia belajar menari?
Ia belajar menari hanya dengan melihat di video, kemudian menirukan, dan mempraktekannya untuk melatih anak-anak. Hasil tariannya tidak sesempurna penari atau pelatih tari profesional. Tetapi, membuat anak-anak percaya diri untuk tampil di depan umum dengan memakai kostum tari, bagiku itu hasil yang membanggakan.
Seperti seorang pelatih sanggar profesional, Icha juga mengurusi pernik-pernik kebutuhan menari. Ia memilihkan, mencarikan kostum yang cocok untuk tariannya, dan merias anak-anak. Maka, ia menjadi kerap berhubungan dengan tempat-tempat persewaan kostum.