Lihat ke Halaman Asli

Kebhinekaan

Diperbarui: 19 Agustus 2017   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tari Saman. Ilustrasi: www.satujam.com

Ada yang berbeda dengan acara kenegaraan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus tahun 2017 kemarin. Presiden sebagai inspektur upacara, beserta undangan yang hadir, mengenakan pakaian daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Peristiwa ini menggugah setiap mata yang menyaksikan perhelatan sakral tahunan ini; betapa beragamnya Indonesia.

Presiden Jokowi memakai pakaian adat Kalimantan Selatan. Pilihan busana ini tentu bukan tanpa alasan. Sebagai pribadi dia orang Solo, Jawa Tengah. Sebagai presiden dia adalah milik bangsa Indonesia. Maknanya, sebagai presiden Jokowi tidak selayaknya mementingkan daerah asalnya.

Bahkan, pada acara kenegaraan tanggal 16 Agustus 2017, Sidang Umum MPR, Jokowi dan Jusuf Kalla "bertukar" pakaian adat. Jokowi memakai busana adat Bugis (daerah asal JK), sementara JK menggunakan pakaian gaya Solo. Apalagi yang ingin ditunjukkan selain satu kesatuan ditengah perbedaan asal sukunya?

Undangan peserta upacara peringatan detik-detik proklamasi 2017, juga menggunakan pakaian adat, daerah, atau nasional. Pada wajah mereka tampak sumringah. Saya terkesan, mereka telah memilih busana adat atau daerah yang terbaik baginya. Pakaian yang terbaik tentu saja sesuai dengan jiwa dan pengalaman psikologis dan historis pribadi masing-masing.

Keragaman jiwa pada pakaian mereka bertemu pada satu wadah untuk berdiri tegak menghormat merah putih dan menyanyikan Indonesia Raya. Keindahan dan kemegahan dalam warna-warni pakaian menjadi sangat indah bersandingan satu sama lain; suku satu dengan suku lain, adat satu dengan adat lain, daerah satu dengan daerah lain. Keindahan apa lagi yang dapat engkau dustakan sebagai ciptaan Tuhan yang beragam? Syukur apa lagi yang akan engkau hindarkan ketika mereka bersama berdiri untuk tegaknya Indonesia?

Pakaian memang mencerminkan keindahan. Pakaian juga memberi kehangatan. Pakaian juga untuk menutup rasa malu. Pakaian adat dan daerah memberikan martabat yang beragam, di dalamnya menyimpan sejarah, lingkungan budaya, dan filosofi yang mereka anut. Suku Rote memakai topi Ti'i Langga tentu bukan sekedar karena kemegahan, tetapi bagaimana mereka tampil bangga dan percaya diri sebagai anak bangsa, belum lagi ditambah Tenun Ikat sebagai cipta karya rajut tangan terampil.

Busana adat dan daerah yang mereka pakai mencerminkan cita rasa semacam itu. Darah mereka berdesir berpijak pada tanah air yang telah dihidupi sejak nenek moyang. Dipikul kewajiban turun-temurun untuk diwariskan pada anak cucu.

Tata busana dalam upacara peringatan kemerdekaan RI tahun ini rasanya menjadi tonggak simbolik bahwa kebhinekaan itu indah dan megah, perbedaan itu tidak mengancam. Keburukan dan ancaman itu hanya datang ketika kita menggunakan cara pandang yang buram, pikiran yang kalut, dan hati yang memar berbau.

Berkaca pada momentum ini, sebagai bangsa yang ingin senantiasa negaranya tegak, perlu terus menerus membumikan ide simbolik ini. Menjadi hanya sekedar ide kalau berhenti pada seremonial tahunan saja. Pakaian adat sudah semestinya menjadi busana yang dipakai di daerahnya masing-masing, terutama pada perhelatan-perhelatan yang diselenggarakan oleh suku dan daerah masing-masing.

Demikian halnya dengan nilai adat dan kedaerahan yang lain. Semisal bahasa, adat-istiadat, seni, makanan, beserta kearifan lokal lainnya. Adalah deretan cipta karya yang terus dikuatkan sebagai kebhinekaan untuk tegaknya Indonesia, berkibarnya sang saka di angkasa biru, dan bergemanya Indonesia Raya. Dirgahayu Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline