Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Menjelang Lebaran Keluarga Jamak

Diperbarui: 19 Juni 2016   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Kereta Lebaran I Dok.pribadi

Pagi-pagi sekali. Ketika matahari masih tidur. Jalanan masih lengang. Jamak segera berkemas untuk mudik. Ia sudah berketetapan hati sejak beberapa bulan yang lalu, lebaran ini harus bersama-sama istri dan kedua anaknya di kampung.

la berangkat tanpa nengucapkan sepatah kata perpisahan pun untuk Ibu Kota. Gelombang lautan manusia segera menenggelamkannya di stasiun pagi itu, seperti air bah yang keruh.

Kadang ia berpikir kenapa harus datang ke Ibu Kota -begitu orang-orang menyebut kota itu- kalau akhirnya membuat perasaannya nyeri? Semangat hidupnya nyunyut? Harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di desa malah menjadi sirna sama sekali.

"Ibu Kota memang keras! Apa pun bisa terjadi. Apa pun bisa dimaklumi. Tidak ada basa-basi," pikir Jamak setengah menghibur diri.

Sepanjang perjalanan Jamak merasa was-was, waktu demi waktu seperti menyediakan ancaman. Jamak memilih tempat yang paling pojok di dalam gerbong itu. Ia berharap tempat itu dapat memberi perlindungan. Ia lega dapat leluasa melihat ke mana-mana sementara dirinya sendiri bebas dari perhatian orang lain.

Sekarang yang paling diinginkan Jamak adalah segera melupakan Ibu Kota, dan ingin selalu menyelamatkan diri dari sergapan kecemasannya. Pikirannya terlempar jauh dari gelombang manusia di sekitarnya, tenggelam dalam lamunannya. Tiba-tiba menancap di lambung rumahnya, berkumpul dengan istrinya yang cantik gunung dan kedua anaknya yang manis-manis. Mereka bahagia. Kemudian Jamak mencoba perlahan-lahan bergeser ke kamarnya dan ingin berlama-lama di sana. Ia melamun.

Tiba-tiba, Jamak dikejutkan oleh seorang laki-laki tegap berewokan yang baru saja sampai di sampingnya. Jamak dengan reflek menggeser duduknya. Tubuhnya gemetar. Ia mengira laki-laki itu menodongkan sesuatu pada dirinya. Ternyata ujung ikat pinggangnya menyembul di sela bajunya.

"Pinjam korek api, Mas," katanya dengan lirikan yang tajam.

Jamak terperanjat, katanya terbata-bata. "Maaf tidak punya. Tidak merokok."

Kehadiran laki-laki itu amat menyiksanya. Jamak berharap ia segera segera turun di stasiuan pertama. Ia tak menginginkan percakapan terjadi, dan Jamak mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Matanya melihat pemandangan yang bermacam-macam sepanjang perjalanan kereta. Tetapi, tidak satu pun tempat terekam dalam ingatannya.

"Sampean dari mana, Mas?" tanya laki-laki itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline