Iman Suwongso, Nomor 45
Jalanan berdebu. Kendaraan yang bekerja keras menakhlukkan tanjakan menerbangkannya, udara menjadi warna kelabu. Butiran-butiran yang dulu menghuni magma Gunung Bromo ini, kini juga menempel di daun-daun pepohonan, genting rumah, dan alis mata. Beberapa bulan lalu gunung ini eropsi, memuntahkan isi perutnya ke hamparan desa di sekitarnya.
Di desa ini, aku akan mengorek-korek isinya. Aku turun dari mobil carteran, kaki menghentak di tanah, dan kepulan debu berterbangan hinggap di permukaan sepatu. Betapa tebalnya nanti tanah halus ini di alas kakiku ketika sampai di Kantor Desa. Mudah-mudahan bisa ditanam kacang-kacangan. Gumamku menghibur diri.
Tujuan pertamaku ke Kantor Desa. Standar umum untuk menjalankan pekerjaan di desa, sebagai tukang pungut data yang berserakan. Formalitas minta ijin kepada Pemerintah Desa, dan melakukan pertanyaan-pertanyaan basa-basi. Aku sudah telepon dulu Kepala Desa tentang kunjungan ini. Kepala Desa sudah menugaskan Kepala Dusun untuk menyambutku.
Kantor Desa ini sebagian pintunya sudah tutup. Satu-satunya pintu yang buka memiliki ruang tamu. Seseorang duduk di dalamnya. Mohon maaf, pakainnya kumal, seperti sudah lama tertempel debu, memakai sandal, dan berkemul sarung. Aku mengira dia seorang warga yang menumpang berteduh dari debu berterbangan.
“Saya mencari Pak Kepala Dusun.” Kataku pada laki-laki itu.
Ia, orang yang duduk di ruang tamu Kantor Desa itu, berdiri dan mengulurkan tangan.
“Saya sendiri.” Sambutnya. “Bapak peneliti itu?”
Saya menjabat tangannya yang diulurkan. Aku bertanya ala kadarnya tentang debu dan keadaan masyarakat sesudah erupsi gunung. Ujungnya, aku minta informasi rumah yang kamarnya bisa aku sewa untuk beberapa hari. Kepala Dusun menawarkan rumahnya. Aku setuju.
***
Rumah Kepala Dusun cukup bersih. Ketika kami sampai, ada seoarang ibu, kemudian aku tahu perempuan itu istri Kepala Dusun, sedang menjemur sejenis tepung putih kasar. Perempuan itu meratakan tepung dengan tangannya yang berlepotan warna putih. Perempuan ini dari kesan pertamaku adalah perempuan yang ramah. Ia menyambut kami, aku dan suaminya, dengan suara yang riang.