Foto: Rumah di Tepi Hutan I Dok.Pribadi
Kalau kamu mau menjadi pendamping Desa, dan lolos tes, dari mana pun asalmu, coba dengarlah ceritaku ini. Karena akan percuma Desa memiliki uang besar tapi masih ada warganya yang tidak berdaya, hidupnya terjepit, bahkan pada dirinya sendiri ia menipu. Mudah-mudahan kamu ditempatkan di kampung ini.
Kampung ini adalah bagian dari sebuah desa. Di kampung ini hanya berdiri lima rumah. Jaraknya saling berjauhan satu sama lainnya. Salah satu rumah yang tampak ada kehidupan berdiri paling ujung, dekat hutan. Kalau kamu menemukan kampung ini, kamu akan tahu rumah ini lebih tepat disebut gubug. Lantainya dari tanah, dindingnya dari bambu, dan gentingnya bukan genting pilihan yang jenisnya tidak satu macam. Dari kejauhan sudah pasti tampak tidak berdiri tegak dan megah melainkan reot dan hampir roboh.
Rumah itu dihuni seorang perempuan dan seorang anak laki-laki usianya sembilan tahun. Mereka ibu dan anak. Hidup berdua saja. Kalau kamu sempat mengamati seharian roda hidup mereka terasa sarat dan lambat. Kamu akan kerap menahan nafas, sambil bergumam, “Hidup yang tenggelam.”
Karenanya, tak ada rutinitas setiap pagi, seorang anak keluar pintu rumah berseragam sekolah, mencangklong tas, apa lagi bersepatu. Ada suatu cerita yang mungkin akan membuatmu menahan nafas:
Suatu siang Karto, anak sembilan tahun itu, duduk bersimpuh di lantai tanah makan nasi thiwul dan sebongkah daging goreng yang sedikit menghitam. Ia makan dengan lahap. Memang ia hampir tidak pernah makan dengan lauk daging. Dan daging itu dia cuil sedikit demi sedikit. Kalau nanti ‘thiwul’-nya sudah habis dia akan menutup makannya dengan daging itu. Dia ingin merasakan gurihnya.
Namun sebelum ‘thiwul’ Karto habis, seekor kucing melompat dari kolong meja. Kucing itu dengan tangkas menyambar daging di piring Karto. Seketika anak laki-laki yang tak pernah memakai baju ini meraung. Suaranya mengeluarkan sisa-sisa tenaganya. Tulang-tulang iganya semakin menonjol hendak mencuat dari kulitnya yang tipis. Kucing yang sama kurusnya dengan dia terkejut hingga daging curiannya lepas dari mulutnya.
Karto menerjang dan berhasil merampas kembali dagingnya. Kucing itu betul-betul tidak punya rasa takut. Binatang ini berbalik melompat dan menerkam genggaman Karto. Taringnya menancap pada daging di genggamannya. Kebuasan kucing ini seperti sedang mendapatkan seekor tikus yang telah ditunggunya sejak lama. Dan Karto masih membayangkan kelezatan daging itu.
Karto sampai mengeluarkan tenaga penuh untuk mempertahankannya. Kucing kurapan itu pun tak bersedia melepaskan gigitannya. Mereka bergumul. Karto memukulkan genggamannya ke punggung kucing. Hanya geraman yang keluar dari tenggorokan kucing, sambil kakinya mencakar lengan Karto. Kuku-kunya menacap menggores lengan Karto sampai lecet. Karto kesakitan. Meraung. Dan mengibaskan kucing itu. Si kucing terpental. Namun, gigi-giginya masih mencengkeram daging milik Karto. Dengan beberapa kali lompatan kucing beruntung ini menelusup di pagar perdu.
***
Karto pasti tidak ingat, pada usia berapa makan daging untuk terakhir kalinya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu. Kala itu bapaknya belum terenggut TBC akut. Karimin nama bapaknya, mendapat pekerjaan untuk memulai mengerjakan ladang di desa seberang. Pekerjaannya memang tidak jelas, namun kerap kali menjadi buruh tani. Saat memulai membuka ladangnya, petani pemilik ladang menyelenggarakan selamatan. Karimin mendapat bagian sedekah nasi tumpeng dan seiris daging sayap ayam. Sedekah itu ia bungkus daun jati, dibawa pulang untuk Karto.