Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Topeng di Meja Bupati

Diperbarui: 6 Mei 2016   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pengukir Topeng

Bagaimana akhirnya Satir bisa membuat topeng, tidak perlu diceritakan di sini. Dan bagaimana bisa banyak orang tahu kalau ia bisa membuat topeng, tidak banyak orang yang tahu. Semua orang yang datang kepadanya untuk dibuatkan topeng, selalu alasannya satu: untuk dijadikan piandel bagi dirinya.

Satu di antara orang yang minta dibuatkan topeng adalah sahabatnya waktu kecil di kampung. Namanya Basuki. Mereka cukup lama tidak bertemu. Awal perpisahan mereka, ketika Basuki masuk SMP di kota dan indekos di sana, Satir mulai mengembara dari satu pelosok ke pelosok, dari desa ke desa, ikut siapa saja yang memungutnya jadi anak asuh. Ya, harus dikatakan, ia yatim piatu sejak umur satu tahun.

Jadi, kalau dihitung, sudah sekitar 40 tahunan mereka mereka bertemu kembali.Seperti tamunya yang lain dari kota, Basuki datang naik mobil, turun di pinggir jalan sana, kemudian jalan kaki 500 meter ke rumah Satir, yang lebih tepat dikatakan gubuk itu. Satir hampir tidak mengenal Basuki, karena wajahnya begitu bersih, dan rasanya umurnya seperti lebih muda dari Satir. Baru ketika Basuki menyebut desa mereka berasal Satir ingat siapa yang datang.

Sementara Satir memelihara kekagumannya, Basuki bicara bagai air bah tumpah ruwah. Dia cerita perjalanannya. “Aku aktif di organisasi pemuda di bawah naungan sebuah partai politik sejak aku jadi mahasiswa. Ini yang mengantarku jadi ketua partai di tingkat kota madya. Kesibukanku kian padat, ya yang banyak bertemu dengan penggede-penggede negeri ini. Namun cita-citaku belum luntur, seperti ketika aku katakan kepadamu waktu akan mandi di sungai dulu. Bagaimana tetangga kita yang berdinding gedeg jadi gedong, jalan makadam jadi aspal mulus. Ya aku ingin mewujudkan tata tentrem kerta raharjo”.

Satir masih mengagumi Basuki.

“Aku sowan ke sini mau minta restumu.”

“Aku ini orang apa Mas Bas,” Satir celingukan.

“Kamu sudah terlalu kondang untuk didengarkan. Aku ini akan mencalonkan bupati. Aku juga sudah dinasihati tim suksesku. Pemilihan Bupati ini permainan yang setiap calonnya pasti gak lombo. Tolong buatkan aku topeng untuk sikep.”

Basuki pamit pulang. Tak lupa salam tempel segebog uang dalam amplop. Satir menolaknya, Basuki memaksanya. Satir mengembalikan lewat ajudan Basuki, oleh ajudan Basuki dikembalikan pada istri Satir. Istri Satir melongo.

Begitu baiknya Basuki. Berhari-hari Satir belum menemukan bentuk topeng yang akan digarap. Ia ingin membuat topeng yang terbaik untuk Basuki. Topeng yang dilihat bisa menyenangkan. Juga, topeng yang menggambarkan watak yang baik pula. Ia bayangkan Raden Gunung Sari yang kerap dimainkan dalam Wayang Topeng Malangan. Tokoh yang senantiasa mempertahankan kebenaran, tokoh yang senantiasa dinasihati Potrojoyo. Juga terlintas Krisna, tokoh dalam wayang kulit yang cerdas dan memiliki sifat dewata. Yak! Perpaduan yang menggiurkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline