Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Akulah Tikus yang Digulung Bola Api

Diperbarui: 3 Mei 2016   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Tikus Dimakan Api

Kekuatan kilat melecut tubuhku. Suara-suara mendadak berhenti. Cahaya menjadi pekat. Angin menjadi senyap. Dingin yang sejak tadi bersemayam dalam pori-pori lenyap seketika. Perlahan berganti hawa panas. Semakin panas. Dan, rasanya aku dibakar api 1.000 0C.

Aku terkejut ketika lecutan yang lebih dahsyat mendarat kembali di tubuhku. Suaranya memekakkan telinga. Bilur-bilur bersemayam di permukaan kulitku ditemani kesunyian. Aku mengangkat kepala. Berat. Masih ada sisa cairan mengering di pelipis. Ketika aku mendongak, tepat di ujung hidungku mengangkang sosok berjubah hitam bersedekap menggenggam cambuk merah. Inikah sosoknya yang akan menginterogasiku? Aku berharap ia utusan yang lemah lembut.

Ia melecutkan cambuknya, sauaranya menggema di uadara. Cetaaarrr!

“Siapa kamu?” katanya mulai menanyaiku. Suaranya dingin dan kaku.

Sesungguhnya itu pertanyaan yang mudah. Siapapun pernah mengenal aku. Namaku sudah pernah menghiasi berbagai halaman media massa hampir setiap hari, berpuluh puluh tahun. Dia juga pasti sudah mengenalku. Barangkali dia hanya menguji nyaliku, apakah aku masih bisa berkata dengan tenang dan senantiasa menyisakan senyum di sudut bibir. Dan aku memang sudah terbiasa dengan suasana semacam ini.

Aku akan jawab! Tidak hanya dengan keteguhan seorang yang sudah teruji dalam memegang tampuk pimpinan berbagai organisasi. Aku akan jawab dengan nada yang diplomatis. Suara yang halus, merdu, yang mendinginkan hati. Tapi ketika aku mencoba merangkai keinginanku ini, kepalaku rasanya dihantam martil. Sakit. Rasanya mau pecah.

Aku nekad memeras pikiran. Mulutku terkunci rapat. Jadinya, aku hanya ngedenseperti orang terdesak beol. Aku memompa semangat. Tapi, tidak sepatah kata pun yang bisa keluar. Sebaliknya, tubuhku bergetar, dan mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa menahan. Aku terjatuh di atas tanah becek. Keringat bercucuran, sedikit, sedikit, lama-lama membentuk kubangan. Dan mulutku seperti dipaksa grafitasi dari depan. Moncong. Ah! Kulitku tumbuh bulu. Apa pula yang tumbuh di sela pantatku?!

Saat si jubah hitam menyalakan korek apinya, sekilas aku melihat bayanganku di kaca yang terbentuk dari keringatku. Binatang? Jijik! Aku melihat jelas sosokku. Mulutku tiba-tiba menganga. Menganga. Meraung di udara.

“Aku, Tikus!”

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline