[caption caption="Ilustrasi: Berpelukan"][/caption]Menjelang subuh. Istriku masih tidur telungkup. Suara dengkurnya berlomba dengan detak jarum jam dan suara orang mengaji di kejauhan. Tanganku hampir menyentuh kakinya untuk membangunkannya. Tetapi buat apa? Dia tidak boleh tahu kepergianku.
Aku memasukkan beberapa pakaian dalam ransel dengan pelan-pelan. Seperti maling yang menjaga agar tidak terjadi suara. Untuk terakhir kalinya aku ingin mencium kening kedua anakku. Saat aku membuka pintu kamarnya, wajahnya yang polos pulas menarikku seperti magnit. Namun langkahku berhenti di pintu yang belum lebar menguak. Aku takut kalau tak dapat melangkah keluar lagi dari kamarnya. Aku cepat-cepat menutup pintunya kembali.
Keputusanku untuk pergi ini memang mendadak. Pertengkaran dengan istriku tadi malam cukup membuat aku malu. Sebagai suami dengan dua orang anak tiba-tiba kesadaranku disodok bahwa aku tidak ubahnya sebuah parasit. Meskipun istriku tidak mengatakannya dengan jelas tetapi luapan emosinya sudah cukup membuat segalanya menjadi gamblang. Rupanya dia sudah cukup lama memendam perasaannnya itu. Senyumnya selama ini pura-pura. Dan dia mencari kesempatan yang paling tepat untuk mengusirku. Saat aku tidak punya jawaban-jawaban yang bisa menjelaskannya dengan jernih.
Surat yang sudah setengah halaman kumaksudkan untuk menjelaskan kepergianku, aku remas-remas dan melemparkannya ke dalam selokan. Aku ingin katakan kepadanya; aku bukan orang rumahan dan bukan bapak yang pemalas. Aku ingin tegaskan meski aku menganggur tetapi aku tidak pernah berhenti berusaha.
Ijazah sarjanaku sampai lecek karena berkali-kali aku foto copy. Tetapi tidak ada tempat lagi bagiku di kota ini untuk jenjang yang aku sandang. Apalagi untuk keluaran fakultasku. Apalagi sudah hampir tak berbekas lagi ilmu yang pernah diajarkan padaku. Menjadi pekerja kasar? Kuli? Tukang becak? Apakah dunia tidak akan berkoar? Ada sarjana menjadi tukang becak. Apa dia bisa menerima ejekan itu?
Ya sudah, aku pergi saja!
***
Sesungguhnya aku tidak pernah mengembara sejauh ini. Menyusur jalan menitih rel kereta. Aku hanya anak seorang petani yang setiap waktu tinggal di dekat areal pertanian. Nenek moyangku tergantung pada ladang. Semenjak melangkah keluar dari pintu rumah, kerinduan sudah menyergapku.
Di dalam kereta kelas tiga yang penuh sesak, panas dan bau keringat. Aku senantiasa terbayang wajah anak-anak. Di pelupuk mataku tak henti menari. Istriku begitu sibuk menyiapkan anak-anak, sebelum dia sendiri berangkat menjadi guru honorer di sebuah sekolah tak jauh dari rumah. Sementara anak-anak meraung mencariku. Pagi itu mereka bangun kesiangan karena aku tak membangunkannya lagi. Mereka sesenggukan meratapi kepergianku. Matanya sembab.
Ah! Tidak. Apa artinya aku. Aku hanya parasit! Aku suami tak punya penghasilan. Aku bapak yang tidak bertanggung jawab. Pemalas! Kepergianku justru akan mengurangi beban keluarga ini. Tidak menanggung makan. Tidak ada sama sekali uang rokok. Tidak ada yang membuat mata sepet lagi. Bukankah begitu yang ada dalam pikiran istriku?
Demikianlah. Di rumah tidak akan ada isak tangis. Tidak ada tetangga yang mengabarkan kepergianku. Aku ada atau tidak ada, sama saja. Seperti tidak ada.