Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Tikus Merebut Potongan Daun Telinga

Diperbarui: 20 April 2016   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: Dok.pribadi: Kerumunan"][/caption]Matahari sudah berwarna perak. Tanah basah mulai mengering menyebarkan aroma padas. Daun-daun diam membisu. Awan mengambang tak ada daya. Burung cimblek melompat dari ranting ke ranting cemara jarum tiada gaduh, tiada kicau, kepak sayapnya tiada bergesek. Jalanan bisu menyilaukan.

Orang-orang mengarah ke ujung jalan. Mereka berjalan pelan, telapak kakinya tiada menimbulkan suara kepak. Mereka sengaja ke ujung jalan berjalan kaki. Pengendara sepeda motor berjalan kaki, motornya dituntun pelan, menghindarkan bunyi gesekan roda dengan muka aspal. Seorang yang datang membawa mobil, memarkir kendaraannya di ujung jalan yang lain. Petugas keamanan masyarakat, Linmas, mengatur di ujung jalan sana tanpa gaduh, tanpa bunyi peluit.

Aku menatap sunyi dari jendela yang tertutup gorden separuh badan.

Mak Gendut masih berada di dekat potongan daun telinga yang ia temukan pagi tadi. Ia tidak banyak bergerak di tempatnya. Hampir semua orang mengerumuninya. Tampak dari gerak tubunya, mereka bertanya dengan berbisik. Mak Gendut menceritakannya dengan berbisik. Mimik mukanya begitu ekspresif menampakkan pencerita yang betul-betul mengetahui pokok masalahnya: potongan daun telinga yang tergeletak di bibir selokan.

Tangannya menunjuk-nunjuk, merunut dari titik ujung noktah darah sampai di onggokan potongan daun telinga. Orang-orang mengikuti cerita Mak Gendut dengan perhatian penuh. Kelihatan sekali, mereka mengorek sedetail mungkin asal-muasal ditemukan potongan daun telinga. Juga, siapa kemungkinan pemilik telinga malang itu?

Ketika ada yang berpendapat dengan volume suara agak keras, Mak Gendut mengkodenya dengan telunjuk yang ditempelkan pada bibirnya. Tadi, Pak Lurah sempat datang. Mak Gendut mendapat pesan untuk menjaga agar tidak terjadi kegaduhan. Pak Lurah berharap orang-orang tetap tenang, dan berpesan khusus pada Mak Gendut untuk membantu ketenangan. Mak Gendut merasa mendapat perintah dari pimpinan desanya.

Kesunyian merambat, memampatkan gelora yang ada dalam dada masing-masing orang. Mau apa lagi? Demi ketenangan, dan menjaga agar tidak terjadi tuduhan yang tidak-tidak, mereka harus mengikuti.

Udara mulai gerah, matahari merambat menuju puncak. Awan berarakpun mulai merambat, kini menutup penuh sinar matahari. Mak Gendut dan orang-orang di sekitarnya mulai gelisah. Mereka memandang ke langit, ke arah mendung yang menutup matahari. Di kampung ini, jam-jam segini, di hari-hari ini, hujan selalu turun.

Mak Gendut terlihat yang paling gelisah. Tubuh tambunnya meliuk-liuk melempar pandangan ke berbagai arah. Ia sangat mengharap yang ditunggu segera datang. Tapi, entah siapa yang ditunggunya. Pak RT kah? Pak Lurah kah? Polisi kah?

Saat gelisah itu tiba-tiba air berjatuhan dari angkasa. Kalau hujannya deras, niscaya banjir akan menerjang potongan daun telinga itu. Itulah yang menyebabkan Mak Gendut sangat tertekan. Ia mulai hilir mudik di dekat potongan daun telinga itu.

Untungnya, lemparan air dari angkasa hanya sekejap. Matahari perlahan mulai terbuka kembali. Dan, ketika matahari telah penuh, dari kejauhan terdengar suara sirine. Mak Gendut bergerak menuju pinggir jalan besar. Sirine itu makin mendekat. Makin mendekat. Makin mendekat. Sial! Sirine itu hanya ambulan yang melintas di jalan besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline